﴿ الجوال آداب وتنبيهات ﴾
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Terjemah : Tim
Islamhouse.com
Editor : Abu Ziyad Eko
Haryanto
2009 - 1430
﴿ الجوال آداب وتنبيهات ﴾
«
باللغة الإندونيسية »
محمد بن إبراهيم الحمد
ترجمة: الفريق الإندونيسي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2009 - 1430
Etika Menggunakan Telpon Genggam
الحمد
لله، والصلاة والسلام على رسول الله، نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada rasulullah
Muhammad saw, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
menyertai beliau.
Amma
Ba’du.
Sesungguhnya
pesawat telepon dengan segala kemudahannya telah memegang peran yang sangat
penting dan memberikan jasa yang besar berupa penghematan banyak hal. Baik
waktu, biaya dan transportasi.
Para
ulama pun telah membahas masalah telepon ini beserta adab-adab dalam
menggunakan perangkat ini. Hal-hal apa saja yang perlu dijaga dan penting untuk
diperhatikan. Seorang diantaranya, Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid ra. menulis sebuah kitab berjudul Adabul Hatif dengan
sangat bagus, yang mendapat pujian sebagaimana kata penyair:
Dengan kepiawaian dia berhak atas kemuliaan
Layak mendapat sanjungan dan kehormatan
Topik
pembicaraan ini secara khusus akan membahas etika seputar penggunaan telepon
genggam, ponsel (telepon seluler) atau HP (handphone).
Pembahasan
mengenai ponsel sebenarnya hampir sama dengan telpon biasa. Hanya saja ponsel
memiliki beberapa fasilitas khusus yang tidak dimiliki telpon rumah biasa.
Yang
membedakan adalah pada umumnya ponsel lebih bersifat pribadi dan hanya dipegang
oleh satu orang tertentu (pemiliknya). Berbeda dengan telpon rumah yang
biasanya dipasang di tempat-tempat umum, misalnya rumah atau kantor. Dan
digunakan oleh banyak orang. Ponsel juga memiliki fasilitas lain yang tidak
dimiliki oleh telpon biasa (aneka ringtone, games, calculator, kamera dan
bermacam-macam aplikasi canggih lainnya).
Tidak
disangkal, ponsel merupakan suatu anugerah yang besar. Sehingga dengan ponsel
itu, seseorang bisa menyelesaikan banyak urusannya secara lebih cepat dan lebih
mudah. Tetapi perlu diperhatikan pula adanya hal-hal yang bisa menyebabkan
hilangnya nikmat syukur pada anugerah besar ini. Ada beberapa catatan penting
agar penggunaan piranti ini lebih bijak dan berhati-hati. Hingga penggunaan
piranti ini benar-benar memberikan manfaat seperti yang diharapkan. Serta tidak
menyebabkan datangnya kemudharatan bagi si empunya.
Beberapa etika yang perlu diperhatikan dan dijaga berkaitan dengan
penggunaan media digital ini antara lain:
Etika pertama:
Menyingkat pembicaraan. Percakapan melalui media telpon hendaknya dilakukan
sesingkat mungkin untuk menghindari pemborosan pulsa tanpa adanya keperluan
mendesak dan tidak mengganggu lawan bicara dengan pembicaraan yang panjang.
Maka disarankan bagi seseorang yang menelpon untuk menyingkat pembicaraannya,
menghindari pembicaraan yang terlalu lama berbasa-basi dan ketika menanyakan
suatu hal.
Hendaknya
dia menahan diri untuk tidak terlalu sering menelpon tanpa keperluan yang
benar-benar penting. Juga jangan suka mengumbar kata-kata saat menelpon. Karena
ada sebagian orang yang betah berlama-lama saat menelpon hingga berjam-jam.
Dalam
kitabnya Adabul Hatif, Al-Allamah Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata: “Hindarilah berlebihan dalam berbicara
melalui telpon, sehingga menjadikanmu kecanduan menelpon. Mengingat banyak
orang yang telah terjangkit penyakit ini. Sejak bangun tidur, ia sudah
menyibukkan diri dengan menelpon dari rumah satu ke rumah yang lain, dan dari
satu kantor ke kantor lainnya, sekedar mencari kepuasan belaka dan mengganggu
orang lain. Terhadap orang seperti mereka ini, kita hanya bisa berdoa dan
menasihatkan agar mereka segera berhenti dari kebiasaan buruknya yang
berlebihan (dalam mengumbar kata) itu”. (Adabul Hatif: 32-33).
Etika kedua:
Tidak menyusahkan penerima telpon. Misalnya menelpon orang dan mengujinya
dengan pertanyaan: “Apakah kamu mengenalku?” Ketika dijawab “Tidak” malah
mencela dan menyalahkannya karena sudah tidak mengenalnya lagi atau karena
tidak menyimpan nomor ponselnya. Padahal si penerima kadang lebih tua darinya,
lebih alim atau terpandang. Mungkin dia memang tidak bisa menyimpan nomornya di
ponsel atau disebabkan kapasitas ponsel yang penuh dan tidak mampu menampung
nomor lebih banyak.
Maka
selayaknya si penelponlah yang harus memperkenalkan diri di awal pembicaraan
jika memang ingin dikenali. Hindarilah cara menelpon yang menyusahkan tersebut.
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah ra. berkata:
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ
فَدَعَوْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ مَنْ هَذَا؟
فَقُلْتُ: أَنَا، فَخَرَجَ وَهُوَ
يَقُوْلُ
أَنَا أَنَا
Aku datang kepada nabi, lalu aku memanggil beliau. Beliau
bertanya: “Siapa?”. Maka aku jawab: “Saya”. Beliau keluar sambil berkata:
“Saya…saya…” (menunjukkan beliau tidak suka dengan jawaban “saya” tersebut). (HR. Bukhari: 6250 dan Muslim
2155).
Etika ketiga:
Menjaga perasaan penerima telpon dan tidak membuatnya tersinggung. Mungkin dia
sedang sakit atau sedang di tempat yang tidak layak untuk ngobrol, misalnya di
masjid atau saat pemakaman. Atau sedang berbicara di forum orang banyak yang
dia tidak ingin memotong pembicaraan mereka, dan sebagainya. Bila ternyata
panggilan tidak dijawab, atau dijawab dengan sangat singkat, maka hendaknya si penelpon memaafkan dan
memaklumi keadaannya. Serta tidak berburuk sangka kepadanya.
Dan
bagi si penerima telpon hendaknya memberi tahu keadaannya, atau menjawab dengan
singkat pada saat ada kesempatan, yang bisa dipahami oleh penelpon bahwa dia
sedang berada di tempat yang belum bisa bicara panjang lebar. Dengan begitu
akan lebih menenangkan hati dan jauh dari prasangka.
Etika keempat: Mematikan ponsel atau mengaktifkan tanpa nada (mode silent, shamit,
diam) saat memasuki masjid. Tujuannya agar tidak mengganggu orang yang shalat
dan mengurangi kekhusyu’an mereka. Jika terlupa mematikan ponsel atau memasang
mode silent, lalu tiba-tiba ada yang menelpon, segeralah matikan atau hilangkan
suaranya seketika itu juga. Karena sebagian orang membiarkan ponselnya tetap
berdering, bahkan dengan nada musik yang mengganggu. Tidak dimatikan, tidak
juga diredam suaranya. Dengan alasan takut melakukan gerakan selain gerakan
shalat. Padahal perlu dia ketahui bahwa gerakannya mematikan ponsel tersebut
adalah untuk kekhusyu’an shalatnya bahkan untuk jama’ah lainnya secara umum.
Sebaliknya
kita juga harus berlapang dada jika ada orang yang lupa mematikan ponselnya.
Tidak serta merta menegurnya dengan keras dan memandangnya dengan sinis.
Terutama jika dia orang yang mudah tersinggung, atau mudah marah. Karena
mungkin saja dia tidak sengaja dan hanya lupa. Sehingga tidak seharusnya
diperlakukan dengan perlakuan yang menyakitkan.
Cukuplah
bagi kita teladan yang baik pada diri Rasulullah n ketika beliau sangat berlemah lembut terhadap seorang
badui yang kencing di masjid. Beliau memerintahkan untuk menyiram bekas air
kencing itu dengan setimba air.
Abu
Hurairah ra berkata:
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Seketika itu
juga orang-orang yang hadir menghardiknya. Tapi Nabi berkata pada mereka:
“Biarkan dia selesai. Lalu siramlah kencingnya dengan setimba air. Sesungguhnya
kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit”. (HR. Bukhari)
Etika kelima:
Menghindari penggunaan nada dering lagu dan musik. Karena didalamnya terdapat
larangan keharaman dan celaan terhadap akal orang yang menggunakan nada lagu
dan musik tersebut. Karena hal ini sangat mengganggu, terlebih jika sampai
dipergunakan dalam masjid atau majlis-majlis umum.
Etika keenam:
Tidak menggunakan ponsel pada saat berada di majelis ilmu atau pada forum-forum
besar secara umum. Karena hal itu bisa mengurangi wibawa majelis dan mengganggu
orang yang sedang menuntut ilmu. Menyakiti perasaan pembicara yang sedang
menyampaikan pelajaran atau materi, dan menimbulkan cercaan terhadap pengguna
ponsel tersebut.
Disarankan
agar tidak menelpon atau menjawab telpon ketika sedang berada dalam suatu
pertemuan yang dipimpin oleh orang yang mulia, diisi oleh pembicara tunggal
atau terdapat orang yang lebih tua dan dimuliakan. Karena menelpon atau
menjawab panggilan telpon pada saat itu bisa memutuskan pembicaraan dan
mengganggu konsentrasi hadirin. Serta merusak etika berbicara dan bermajlis.
Abu
Tammam berkata:
من لي بإنسان إذا أغضبته *** وجهلت كان الحلمُ ردَّ جوابه
وتراه يصغي للحديث بسمعه *** وبقلبه ولعله أدرى بـــه
Siapakah yang engkau buat murka atau kau bodohi, sedangkan ia
membalasnya dengan kesabaran dan kearifan
Kau lihat dia memperhatikan pembicaraan dengan sungguh-sungguh dan
dengan sepenuh hatinya padahal ia mungkin lebih memahaminya
Menelpon
atau menjawab telpon pada kondisi diatas dimaklumi apabila memang darurat atau
ada kebutuhan mendesak yang dikhawatirkan hilangnya kesempatan setelah itu.
Tentu dengan tetap menjaga agar tidak memperpanjang percakapan. Dimaafkan juga
bagi pemimpin majlis atau orang tua untuk menelpon atau menjawab panggilan
telpon. Begitu pula pada pertemuan biasa dengan keluarga atau teman-teman, maka
tidak mengapa menerima atau menelpon. Sangat bijaksana jika seseorang yang akan
menelpon untuk minta izin terlebih dulu dan keluar dari forum.
Etika ketujuh:
Jangan merekam pembicaraan atau mengaktifkan suara luar ditengah orang banyak
tanpa sepengetahuan lawan bicara. Kadang hal itu terjadi ketika seseorang
menelpon salah seorang temannya atau sebaliknya dia yang ditelpon, diam-diam
dia merekam pembicaraan tersebut. Atau memperdengarkan suaranya melalui speaker
luar, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mendengar pembicaraan tersebut.
Perbuatan ini tentu tidak pantas dilakukan oleh orang yang berakal, terutama
jika pembicaraan itu adalah pembicaraan yang bersifat khusus atau rahasia. Hal
ini bisa menjadi bagian dari jenis khianat atau bentuk adu domba. Lebih tidak
pantas lagi jika yang lawan bicara adalah orang yang berilmu lalu dia merekam
semua yang dibicarakannya tanpa sepengetahuannya, kemudian dia sebarkan melalui
media internet atau dia tulis ulang dengan melakukan penambahan dan
pengurangan.
Syaikh
Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Adabul Hatif berkata: “Tidak boleh bagi seorang
muslim yang menjaga amanah dan tidak menyukai bentuk khianat merekam
pembicaraan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Apapun bentuk
pembicaraannya. Baik tentang agama maupun masalah dunia. Seperti fatwa, diskusi
ilmiah, kajian ekonomi dan sebagainya”. (Adabul Hatif: 28)
Beliau
melanjutkan: “Apabila engkau merekam pembicaraannya tanpa izin dan
pengetahuannya, maka itu termasuk makar, muslihat dan pengkhianatan terhadap
amanah. Apabila engkau menyebarkan rekaman tersebut kepada orang lain maka
lebih besar lagi khianatnya. Lebih-lebih jika engkau mengedit, merubah
pembicaraannya dengan mengurangi, dengan mendahulukan atau mengakhirkan atau
bentuk-bentuk lain dari bentuk penambahan atau pengurangan, maka engkau telah
melakukan kesalahan yang bertingkat-tingkat dan engkau terjatuh pada
pengkhianatan yang sangat besar dan tidak bisa ditolerir.
Kesimpulannya,
perbuatan merekam pembicaraan orang lain, baik melalui telpon atau media
lainnya, jika tanpa sepengetahuan dan seizin orang tersebut maka tindakan
tersebut adalah tindakan maksiat, khianat dan mengurangi keadilan seseorang.
Tidak ada yang melakukannya kecuali orang yang dangkal ilmu agamanya, akhlak
dan etikanya. Terlebih jika pengkhianatannya bertingkat sebagaimana telah
dijelaskan diatas. Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, jangan
khianati amanah yang kalian emban dan jangan khianati saudara kalian”. (Adabul
Hatif: 29-30).
Etika kedelapan: Tidak meninggalkan ponsel sembarangan di tempat-tempat
umum. Misalnya pertemuan dengan teman-teman atau tempat dimana banyak terdapat
anak-anak. Hal ini bisa mengundang hal yang akan menyusahkan. Bisa jadi ponsel
anda digunakan menelpon orang lain yang tidak anda sukai, atau bahkan mungkin
ponsel anda dicuri orang. Atau ada orang yang membaca isi pesan-pesan singkat
yang tidak anda inginkan ada orang lain yang tahu. Hal seperti itu tentu sangat
tidak menyenangkan dan sangat mengganggu.
Etika kesembilan: Waspadai penggunaan kamera ponsel. Sebagian ponsel
dilengkapi fitur kamera yang tertanam di dalamnya. Fitur ini kadang
dimanfaatkan untuk memotret gambar-gambar yang diharamkan. Misalnya pada
resepsi pernikahan (walimah) dan sebagainya. Padahal tidak disangkal lagi akan
haramnya perbuatan tersebut. Yang menyebabkan pelanggaran terhadap kehormatan
dan prisawasi seseorang, keributan dalam rumah tangga dan menyebarkan perbuatan
keji diantara orang-orang mukmin. Lebih parah lagi jika gambar-gambar yang
diambil melalui kamera tersebut kemudian disebarkan, dengan dimanipulasi
(misalnya memasang foto kepalanya ke tubuh orang lain –pent) sehingga sosok
dalam foto tersebut tampak seolah telanjang.
Maka
peringatan keras kepada siapa pun yang senang melakukannya, agar memperhatikan
dampak buruk dari perbuatannya itu. Dan khusus kepada para wanita, hendaklah
selalu menjaga hijab dan kehormatannya sehingga tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
Etika kesepuluh: Menjaga sopan santun dalam menulis pesan singkat.
Kemampuan kirim-terima pesan singkat (SMS) memang merupakan salah satu fitur
yang digemari pada ponsel. Namun pengguna ponsel yang berakal haruslah
memperhatikan tatakrama dan aturan dalam ber-SMS. Hendaknya dia menulis SMS
dengan bahasa yang indah, mengandung pelajaran, kabar gembira, pelipur duka
atau menyenangkan. Bagus juga berisi pesan-pesan yang mengandung hikmah,
dzikir, nasehat, kata mutiara atau semacamnya.
Etika kesebelas: Meneliti kebenaran suatu pesan. Jika suatu pesan singkat
(SMS) mengandung suatu informasi, maka konfirmasikan dulu kebenarannya sebelum
mengirimnya. Jika berisi suatu berita, pastikan dulu bahwa berita tersebut
benar adanya. Karena mungkin berita itu akan diteruskan ke orang lain. Pengirim
mestinya paham bahwa pesannya bisa saja berpindah tangan, dan tersebar
kemana-mana. Bila pesan baik yang dia kirimkan, dia akan mendapatkan
manfaatnya. Namun jika pesan buruk yang dia sebarkan, maka bersiaplah menuai
akibatnya. Maka perhatikanlah pesan yang akan dia kirimkan itu akan
mendatangkan kebaikan ataukah justru berdampak buruk.
Hal-hal
yang juga perlu diwaspadai adalah adanya kebiasaan menulis nasehat melalui
pesan singkat untuk melakukan amalan-amalan tertentu tanpa memperhatikan
hukumnya syar’i atau tidaknya. Misalnya nasehat untuk melakukan puasa akhir
tahun karena bertepatan dengan hari Senin, mengkhususkan doa tertentu dengan
kebaikan atau keburukan seorang tertentu dan pada waktu tertentu, atau mengirim
pesan pada seseorang dan mengharuskannya meneruskan pesan tersebut ke sepuluh
orang lainya atau sejumlah orang tertentu. Hal seperti ini tidak layak
dilakukan. Karena hal itu bisa menjerumuskan seseorang ke dalam hal-hal yang
diada-adakan dan bid’ah.
Adapun
saling menasehati agar mendoakan kaum muslimin, melaknat musuh-musuh agama,
memanfaatkan waktu dan tempat dengan kebaikan dan semisalnya maka hal itu
boleh. Tanpa mengkhususkan dengan doa tertentu.
Etika kedua belas: Hindari pesan-pesan SMS yang tidak baik. Misalnya
mengandung kata-kata jorok, celaan, gambar tak senonoh atau foto-foto porno.
Atau ucapan yang memiliki dua makna, baik dan buruk. Pada saat awal membaca
pesan tersebut yang ditangkap adalah makna buruk, namun setelah diamati dengan
seksama diketahui bahwa maknanya adalah baik. Atau kalimat yang diputus dengan
spasi cukup panjang sehingga lanjutan kalimat tersebut baru terbaca setelah
menekan tombol ponsel. Semua itu menunjukkan perilaku dan etika yang buruk.
Al-Mawardi
saw berkata: “Dan yang termasuk perkataan buruk,
yang wajib dijauhi dan musti dihindari adalah kata-kata yang bertolak belakang.
Mulanya dipahami sebagai kata-kata buruk. Lalu setelah diteliti dan dipahami
dengan benar ternyata bermakna baik”. (Adabud Dunya Wad Dien: 284).
Dilarang
pula bercanda dengan berlebihan. Atau menggunakan kalimat-kalimat cinta,
terutama terhadap wanita. Karena wanita sangat suka dipuji dan mudah tergoda
rayuan. Ucapan lainnya yang juga dilarang adalah yang mengandung celaan, fitnah
dan lainnya. Semua hal tersebut dilarang karena menyelisihi syar’i, merusak
adab, dan bisa menghilangkan syukur terhadap nikmat pada perangkat ponsel ini.
Etika ketiga belas: Memastikan kebenaran nomor tujuan. Sehingga SMS tidak
salah kirim ke orang lain dan mengganggu. Dan supaya tidak menimbulkan buruk
sangka terhadap pengirim jika ternyata SMSnya tidak patut dibaca oleh penerima.
Etika keempat belas: Jagalah perasaan dan kondisi penerima. Kadang sebuah SMS
bagus dan cocok bagi seseorang tapi tidak untuk orang lain. Terkadang layak
bagi orang tua atau yang berkedudukan tinggi, tapi tidak sesuai untuk anak
kecil atau yang tidak mengerti. Kadang baik bagi orang yang paham dan mengerti
maksudnya, tapi tidak baik bagi orang yang tidak paham dan tidak mengerti
maksudnya atau orang yang sensitif dan mudah berburuk sangka. Maka hal-hal
seperti itu perlu untuk diperhatikan dan dijaga. Karena sering terjadi hal-hal
yang berlebihan dan tidak memperhatikan etika tersebut menyebabkan orang saling
berburuk sangka dan mendatangkan permusuhan.
Etika kelima belas: Jangan melihat isi ponsel orang lain dan membaca
pesan-pesan di dalamnya tanpa izin pemilik. Hal itu bisa membuka aib seseorang
dan termasuk tindakan kekanak-kanakan yang tercela. Bahkan termasuk bentuk
khianat, dan bagian dari pintu-pintu suudzon (buruk sangka). Karena bisa
jadi dia salah dalam memahami isi pesan SMS yang dia baca tersebut. Atau pesan
yang dikirim untuk istrinya dikira untuk wanita lain. Atau pesan masuk yang
berasal dari orang yang tidak disukainya, padahal pemilik ponsel tidak tahu
menahu akan hal itu. Contoh-contoh tersebut semakin menunjukkan akan pentingnya
menyimpan ponsel dengan lebih berhati-hati dan tidak meletakkannya sembarangan.
Wajib
bagi orang yang berakal untuk menyadari bahwa mungkin saja ada orang lain yang
melihat isi ponselnya serta membaca pesan-pesan pribadinya. Sehingga
menyingkapkan tabir pribadinya yang bisa menyebabkan orang berburuk sangka
padanya. Pengirim pesan hendaknya berhati-hati terhadap hal-hal tersebut.
Khususnya para wanita, karena mungkin saja ponselnya dilihat oleh suami
temannya atau saudara temannya. Yang mengkhawatirkan bila suami atau saudara
temannya itu punya niat yang tidak baik. Sehingga menyebabkan terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan.
Etika keenambelas: Tidak adanya pengingkaran terhadap orang yang mengirimkan
pesan tidak baik. Hal ini tidak pantas terjadi. Seyogyanya bagi seorang muslim
jika mendapatkan SMS yang tidak baik segera mengingkari hal itu dengan
menasehati pengirimnya dengan lemah lembut. Dengan demikian dia telah
menegakkan syiar amar ma’ruf (menyuruh kepada perbuatan baik) dan nahi
mungkar (mencegah kemungkaran), saling menasehati dalam kebenaran,
mengingatkan dari kekeliruan dan mengajari orang yang tidak tahu jika ternyata
pengirim tidak paham dengan pesan yang dikirimkannya. Demikian pula hendaknya
seseorang segera menghapus pesan-pesan masuk yang tidak baik. Sehingga
terhindar dari masalah yang mungkin ditimbulkan oleh pesan-pesan tersebut jika
suatu saat ponsel tersebut hilang, tertinggal di suatu tempat atau pindah ke
tangan orang lain.
Etika ketujuh belas: Tidak menggunakan ponsel untuk berhubungan dengan lawan
jenis. Ini adalah dampak negatif yang paling berbahaya pada penggunaan ponsel.
Dulu para ulama telah memperingatkan bahayanya penggunaan telpon. Dan
memperingatkan untuk berhati-hati agar telpon tidak digunakan oleh orang-orang bodoh.
Zaman makin maju, muncullah era telpon seluler. Maka makin bertambah saja
kerusakan yang diakibatkan dari salahnya penggunaan ponsel. Karena ponsel bisa
dimiliki siapa saja. Orang pandai, orang bodoh, laki-laki, perempuan, dewasa
dan anak-anak dengan mudah memiliki perangkat canggih ini.
Maka
wajib bagi setiap orang yang berakal untuk memperingatkan bahaya ini. Yang
dengan piranti digital ini semakin mempermudah terjadinya hubungan lawan jenis.
Dan orang yang senang mempermainkan kehormatan orang lain wajib memperhatikan
akibat dari perbuatan mereka, merasa diawasi oleh Rabb mereka dan merasakan
pengawasannya. Sebagaimana dia wajib untuk menghentikan diri dan nafsunya dari
hal tersebut dengan sebenar-benarnya. Dan hendaknya dia menyadari bahwa kebahagiaan
hakiki tidaklah bisa diraih dengan cara-cara haram seperti ini. Bahwa cara-cara
tersebut merupakan sebab terbesar yang mengundang kesusahan dan kesengsaraan
bagi dirinya dan menyebabkan terbuangnya harta mereka dengan sia-sia. Bahkan
cara itu akan menyeretnya ke jurang kebinasaan dan kenistaan, di dunia dan
diakhiratnya. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan
memberikan ganti dengan sesuatu yang lebih baik. Kelezatan iffah
(menjaga kehormatan) itu lebih nikmat daripada kelezatan syahwat yang haram.
Etika kedelapan belas: Jangan sering bermain ponsel dalam forum. Khususnya pada
pertemuan-pertemuan yang dihadiri orang-orang berilmu dan orang-orang
terhormat. Sebagian orang tidak henti-henti membolak-balikkan ponsel yang
dipegangnya, gonta-ganti nada dering, bermain game yang memang tersedia di
beberapa model ponsel, atau hal-hal lainnya yang tidak pantas dilakukan oleh
orang yang berakal.
Etika kesembilan belas: Berpura-pura dan senang dipuji. Misalnya orang yang ingin
diperhatikan, pamer kedudukan atau ingin menampakkan bahwa dia orang penting
dengan membuat kesan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ada seorang pejabat
terhormat sedang mencari dan menghubunginya.
Syaikh
Bakar Abu Zaid berkata: “Ada orang-orang
yang begitu haus kehormatan dan senang dipuji terhadap hal-hal yang tidak
pernah mereka kerjakan. Benarlah yang disabdakan Nabi n:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْط كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
Orang yang merasa puas dengan hal yang tidak pernah dia
lakukan seperti orang yang memakai pakaian palsu. (HR. Bukhari: 5219 dan Muslim: 2129).
Sebagian
orang ada yang menelpon dengan menampakkan seakan dia sedang mengadakan
pembicaraan dengan orang penting, punya kedudukan, jabatan atau pangkat yang
tinggi. Dan ingin menunjukkan keistimewaannya dengan menampakkan bahwa dia
sedang dihubungi oleh orang tersebut. Engkau melihat si lebai ini ingin menipu
orang lain dengan gaya yang dibuat-buat, sambil mengucapkan kata-kata atau
melakukan gerakan-gerakan tertentu agar aksinya tampak meyakinkan, seolah dia
adalah orang penting dan punya kedudukan tinggi. Seakan-akan dia ingin berkata
“Inilah diriku, maka kenalilah aku!”. Padahal sebenarnya pembicaraan yang dia
lakukan hanyalah pembicaraan palsu dan pura-pura. Aku dan beberapa orang lain
telah menyaksikan sendiri adanya kejadian seperti itu. Yang terpenting, mereka
segera sadar bahwa tipuan itu sangat mudah terungkap, dan sedikit sekali orang
yang bisa menyembunyikan hakekat mereka yang sesungguhnya. Maka janganlah
kalian wahai orang muslim mengikuti jejak mereka”. (Adabul Hatif: 35-36).
Demikianlah
berapa petunjuk dan peringatan penting seputar ponsel berikut etika-etika yang
harus dilakukan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang harus dihilangkan.
Semoga
shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad saw, seluruh keluarga serta sahabatnya.
wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar