BENCANA KEMANUSIAAN
AKIBAT
DARWINISME
HARUN YAHYA
Perpustakaan Nasional RI: data katalog dalam terbitan
(KDT)
Yahya, Harun
Bencana Kemanusiaan
Akibat Darwinisme /
Yahya Harun ; alih
bahasa, Effendi... (et
al.) ; editor, Catur
Sri Herwanto. -- Jakarta
: Global Cipta
Publishing, 2002.
178 halaman. ; 23 cm
Judul asli: The Disasters Darwinism Brought to Humanity
ISBN 979-96943-0-2
1. Evolusi.
I. Judul.
II. Effendi
III. Sriherwanto,
Catur.
576.82
Judul Asli:
The Disasters Darwinism
Brought to Humanity
Penulis:
Harun Yahya
Penerbit:
Al-Attique
Publishers Inc.
Judul Terjemahan:
Bencana Kemanusiaan Akibat
Darwinisme
Alih Bahasa:
Fajariska
Rahma Razak
Thirta Ayu
Editor:
Catur Sriherwanto
Nurcholiq Ramdhan
Setting & Lay Out:
Ivanovsky
Desain Cover:
Abu Hanif
Dicetak oleh:
Global Cipta Publishing
Diedarkan oleh:
Cipta Distribusi
Penerbit:
Global Cipta
Publishing
Komplek Duta Mas Fatmawati C1/10
Jl. Raya Fatmawati 39 Jakarta 12150
Telp. (021) 72789913 Fax. (021) 7392844
Cetakan Pertama, Rajab 1423 H,
September 2002 M
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa
hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2)
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), dipidana dengan
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (UU
RI No. 7 Tahun 1987)
Daftar Isi
PENDAHULUAN:
PEMBAWA SENGSARA DI ABAD KE-20
SEJARAH SINGKAT DARWINISME
RASISME DAN KOLONIALISME DARWIN
KAITAN ERAT ANTARA DARWIN DAN
FASISME
DARWINISME: SUMBER KEKEJAMAN
KOMUNIS
KAPITALISME DAN PERJUANGAN UNTUK
MEMPERTAHANKAN
HIDUP DI BIDANG EKONOMI
KEHANCURAN MORAL AKIBAT
DARWINISME
KESIMPULAN:
HARUSKAH DARWINISME DIBIARKAN
HIDUP?
Dari
Penerbit
Banyak yang tidak menyangka atau
malah tidak percaya bila Darwinisme turut memberi spirit dan kontribusi atas
berbagai ideologi besar yang lahir di dunia ini. Nazisme, Fasisme, Komunisme,
Liberalisme dan Kapitalisme, adalah beberapa diantaranya. Ideologi-ideologi
ini, yang merupakan penghasung pemujaan pada atheisme dan materialisme, secara
sadar telah menyandarkan diri pada ‘konsep ilmiah’ dari Darwinisme. Para
penggagasnya merasa mendapatkan pembenaran ilmiah atas berbagai tindakannya
yang membawa bencana dan kesengsaraan bagi ummat manusia. Pembunuhan,
penyiksaan, perampasan, pelecehan hak dan kehormatan atas bangsa dan pihak
berseberangan dianggap sebuah tangga titian menuju kejayaan. Kebanggaan dan
kejumawaan atas ras dan ideologi menjadi pendorong penindasan dan penistaan. Yang
lemah harus menyingkir dan menjadi budak mereka yang kuat. Penerus generasi dan
peradaban adalah mereka yang kuat, sementara yang lemah harus rela untuk lenyap
dan tenggelam dalam catatan sejarah. Demikianlah, suka atau tidak, inilah
keniscayaan hukum alam yang mesti diterima. Keniscayaan yang menjadi ruh
evolusi yang dikemukakan Darwin.
Gagasan Darwin tentang
keunggulan ras (dalam hal ini kulit putih), kelangsungan hidup bagi yang
terkuat, pertentangan dalam mempertahankan hidup, benar-benar menjadi kesempatan
emas bagi para ideolog semacam Hitler, Heinrich von Treitchke, Benito
Mussolini, Karl Marx dan Friedrich Engels untuk mendapatkan sandaran ilmiah
atas gagasan-gagasan mereka. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari suka citanya
Engels kala membaca karya Darwin, The
Origin of Species. Engels menulis kepada Marx, “Darwin, yang kini sedang
saya baca, sungguh mengagumkan.” Lalu Marx pun menjawab, “Ini adalah buku yang
berisi dasar berpijak pada sejarah alam bagi pandangan kita.”
Hal yang sama juga dilakukan
Hitler melalui praktek Eugenics.
Eugenics adalah praktek pemurnian ras yang mengatakan bahwa ras manusia dapat
diperbaiki dengan cara yang sama sebagaimana hewan berkualitas baik dapat
dihasilkan melalui perkawinan hewan-hewan yang sehat. Maka kala ilmu aneh ini
diterapkan, atas perintah rahasia Hitler, dilenyapkanlah ribuan orang-orang
berpenyakit dan cacat disamping memperbanyak jumlah manusia sehat.
Itulah contoh-contoh kasus dari
badai bencana akibat Darwinisme terhadap kemanusiaan. Masih ada lagi ‘karya’
para pembawa sengsara lain yang jejaknya jelas bertebaran di muka bumi. Inilah
gagasan yang terlihat ilmiah pada tampak luarnya, namun sesungguhnya menyimpan
sebuah agenda ‘penyesatan’ yang luar biasa. Inilah juga potret dari faham yang
menjadi keyakinan banyak orang, termasuk kalangan ilmuwan ternama sekalipun.
Faham yang secara sistematis dan memabukkan membawa penganutnya pada
pengingkaran akan nilai–nilai kebaikan dan keadilan. Juga, faham yang kemudian
mengarahkan manusia untuk mengingkari nilai ketuhanan.
Buku yang kami persembahkan
kepada Anda para pembaca yang budiman, adalah sebuah karya yang berbicara
melalui argumen yang nalar dengan dukungan data dan dokumen otentik.
‘Kekejaman’ kata-katanya, andai mau dianggap demikian, dapat menjadi shock therapy bagi kita yang
hampir-hampir menjadikan Darwinisme dan Teori Evolusi ‘firman’ yang tak
terbantahkan atau dogma yang kebenarannya harus diterima tanpa perlu adanya
pembuktian. Saatnyalah untuk berhenti sejenak, merenungi kenyataan yang sesungguhnya…
Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah
lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Q.S. Al
Israa’ :81)
Tentang
Penulis
Dengan nama pena HARUN YAHYA,
penulis telah menghasilkan banyak karya yang mengulas masalah politik dan
keimanan. Sekumpulan karya pentingnya membahas paham materialistik dan
pengaruhnya dalam sejarah dan perpolitikan dunia. (Nama pena Harun Yahya
terdiri dari “Harun” dan “Yahya” sebagai penghormatan atas dua Nabi yang
berjuang melawan kekufuran.)
Karya-karyanya meliputi; Tata
Dunia Baru Freemasonry, ‘Tangan Rahasia’ di Bosnia, Di Balik Tabir Terorisme,
Kartu Kurdi Israel, Strategi Nasional bagi Turki, Solusi: Moral Alquran,
Kemunduran Islam dan Kebangkitannya Yang Dinantikan, Kehancuran Komunisme,
Ideologi Berdarah Darwinisme: Fasisme, Permusuhan Darwin Terhadap Bangsa Turki,
Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme, Keruntuhan Evolusi, Artikel 1-2-3,
Senjata Syaitan: Romantisme, Kebenaran 1-2, Dunia Barat Kembali Kepada Tuhan,
Bangsa-Bangsa Yang Dimusnahkan, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Zaman Keemasan,
Kesempurnaan Penciptaan Warna oleh Allah, Kemegahan di Setiap Sudut Alam
Semesta, Hakikat Kehidupan Dunia, Pengakuan Para Evolusionis, Bantahan Terhadap
Evolusionis, Kekeliruan Evolusionis, Sihir Darwinisme, Agama Darwinisme,
Keruntuhan Teori Evolusi melalui 20 Pertanyaan, Alquran Membuka Jalan bagi Ilmu
Pengetahuan, Asal-Usul Kehidupan Yang Sesungguhnya, Penciptaan Alam Semesta,
Keajaiban Alquran, Rancangan Cerdas dalam Sel, Serangkaian Keajaiban, Keajaiban
Desain di Alam, Pengorbanan Diri dan Perilaku Cerdas pada Binatang, Kekekalan
Telah Berlangsung, Anakku Darwin Telah Berbohong!, Kematian Darwinisme,
Berpikir Mendalam, Ketiadaan Dimensi Waktu dan Hakikat Takdir, Memahami
Kebenaran, Jangan Pernah Merasa Tidak Tahu, Rahasia DNA, Keajaiban Atom,
Keajaiban Dalam Sel, Keajaiban Sistem Kekebalan, Keajaiban Mata, Keajaiban
Penciptaan Tumbuhan, Keajaiban Laba-Laba, Keajaiban Semut, Keajaiban Nyamuk,
Keajaiban Lebah Madu, Keajaiban Biji, Keajaiban Rayap, Keajaiban Hijau:
Fotosintesis, Keajaiban Hormon, Keajaiban Manusia, Keajaiban Penciptaan
Manusia, Keajaiban Protein.
Buku-buku untuk anak karya
penulis: Anakku, Darwin Telah Berbohong!, Dunia Satwa, Pesona di Langit, Dunia
Sahabat Mungil Kita: Semut, Lebah Madu yang Membangun Sarang Sempurna, Si Ahli
Pembuat Bendungan : Berang-Berang.
Karya-karya penulis dalam bentuk
buku saku: Misteri Atom, Keruntuhan Teori Evolusi: Fakta Penciptaan, Keruntuhan
Materialisme, Kematian Materialisme, Kekeliruan Para Evolusionis 1, Kekeliruan
Para Evolusionis 2, Keruntuhan Mikrobiologis Teori Evolusi, Fakta Penciptaan,
Keruntuhan Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan, Kebohongan Terbesar dalam Sejarah
Biologi: Darwinisme.
Karya-karya Penulis tentang
topik-topik yang berhubungan dengan Alquran: Ajaran Pokok dalam Alquran, Akhlaq
Qur’ani, Memahami Iman Dengan Mudah 1-2-3, Pernahkah Anda Berpikir Tentang
Kebenaran?, Pemahaman Dangkal Kaum Yang Ingkar, Mengabdi Hanya Kepada Allah,
Menjauhkan Diri dari Masyarakat Jahiliyyah, Rumah Mukmin Yang Sesungguhnya:
Surga, Ilmu Alquran, Indeks Alquran, Berhijrah Karena Allah, Sifat Munafiq
dalam Alquran, Rahasia Orang Munafiq, Nama-Nama Allah Yang Agung, Berdakwah dan
Berdebat dalam Alquran, Alquran Menjawab, Kematian Kebangkitan dan Neraka, Perjuangan
Para Rasul, Setan: Musuh Nyata Manusia, Dosa Terbesar: Syirik, Agama Masyarakat
Jahiliyyah, Kesombongan Setan, Doa dalam Alquran, Pentingnya Hati Nurani
menurut Alquran, Hari Kebangkitan, Jangan Pernah Lupa, Penilaian Alquran yang
Terabaikan, Karakter Manusia dalam Masyarakat Jahiliyyah, Pentingnya Sabar
dalam Alquran, Informasi Umum dari Alquran, Keimanan yang Sempurna, Sebelum
Anda Menyesal, Nasehat Para Rasul Kita, Keutamaan Orang Mukmin, Takut Kepada
Allah, Mimpi Buruk Kekufuran, Nabi Isa Akan Datang, Keindahan Yang Dihadirkan
Alquran dalam Kehidupan, Kumpulan Keindahan Ciptaan Allah 1-2-3-4, Perbuatan
Dosa “Pelecehan”, Rahasia Ujian dalam Kehidupan, Hikmah Sejati Menurut Alquran,
Perjuangan Agama Kaum Tak Beragama, Tarbiyyah Nabi Yusuf, Bersekutu Dalam
Kebaikan, Fitnah Terhadap Kaum Muslimin Sepanjang Sejarah, Pentingnya Menapaki
Jalan Kebenaran, Mengapa Anda Menipu Diri Anda Sendiri?, Islam: Agama
Kemudahan, Kesabaran dan Ketabahan dalam Alquran, Melihat Kebaikan dalam Segala
Hal, Bagaimana Orang Jahil Menafsirkan Alquran?, Rahasia Alquran, Keberanian
Orang Beriman, Optimisme dalam Alquran, Keadilan dan Toleransi dalam Alquran,
Ajaran Pokok dalam Islam, Mereka yang Mengabaikan Alquran.
Kepada
Pembaca
Alasan mengapa bab
khusus tentang keruntuhan teori evolusi ditambahkan adalah dikarenakan teori
ini menjadi landasan berpijak semua filsafat anti agama. Sejak Darwinisme
mengingkari fakta penciptaan, dan tentunya keberadaan Tuhan, selama 140 tahun
terakhir, paham ini telah menyebabkan banyak orang menanggalkan keimanan mereka
atau paling tidak mengalami keraguan dalam keyakinan mereka. Oleh sebab itu,
mengungkapkan teori yang ternyata tidak lebih dari sekedar kebohongan ini
adalah kewajiban sangat penting yang sangat dianjurkan agama. Sangatlah penting
bahwa tugas ini dilaksanakan oleh setiap orang. Sebagian dari pembaca buku-buku
Harun Yahya mungkin hanya berkesempatan membaca satu buku saja. Karenanya, kami
perlu menyediakan satu bab yang merangkum bahasan ini.
Di semua buku karya penulis,
topik yang berhubungan dengan keimanan diuraikan berdasarkan dalil ayat
Alquran; di dalamnya para pembaca diajak mempelajari kalam Allah dan
menerapkannya dalam kehidupan. Semua bahasan tentang ayat-ayat Allah dijelaskan
secara lugas sehingga tidak menyisakan ruang keraguan atau tanda tanya dalam
benak pembaca. Sajian yang tulus, sederhana dan lugas menjadikan semua orang
dari berbagai umur dan lapisan masyarakat dapat dengan mudah memahami isi buku
tersebut. Penyampaiannya yang jelas dan mengena memungkinkannya dibaca dengan
cepat. Bahkan mereka yang sangat anti terhadap hal-hal yang berbau spiritual
terpengaruh oleh fakta-fakta yang disampaikan dalam buku-buku ini, serta tidak
mampu mengingkari kebenaran isinya.
Buku ini dan semua buku lain
karya penulis dapat dibaca sendirian atau diperbincangkan bersama dalam
kelompok diskusi. Para pembaca yang sangat berkeinginan mendapatkan manfaat
dari buku-buku ini akan menemukan forum diskusi sangatlah berguna, dalam artian
bahwa mereka akan dapat mengemukakan hasil perenungan dan pengalaman mereka
satu sama lain.
Selain itu, adalah sebuah amal
kebajikan yang tak ternilai bagi agama bagi siapa saja yang turut serta dalam
menyampaikan isi buku-buku ini, yang ditulis demi meraih ridha Allah semata.
Semua buku karya penulis sangatlah meyakinkan. Karenanya, bagi siapa saja yang
ingin mendakwahkan agama ini kepada orang lain, salah satu cara paling ampuh
adalah dengan mengajak mereka membaca buku-buku ini.
Tidak sebagaimana karya-karya
lain, dalam buku-buku ini anda tidak akan menjumpai pandangan pribadi penulis,
penjelasan berdasarkan sumber-sumber meragukan ataupun cara penyampaian yang
kurang pada tempatnya. Tidak pula di dalamnya anda akan menemukan uraian yang
tidak meyakinkan, menimbulkan keraguan dan rasa putus asa yang hanya akan
membuat kebimbangan dalam hati pembaca.
PENDAHULUAN
PEMBAWA SENGSARA DI ABAD KE-20
Abad ke-20 yang baru saja kita tinggalkan adalah abad
peperangan dan pertikaian yang membawa bencana, penderitaan, pembantaian,
kemiskinan, dan kerusakan dahsyat. Jutaan orang terbunuh, terbantai, mati
kelaparan, terlantar tanpa rumah, tempat bernaung, perlindungan ataupun uluran
tangan. Dan semua ini terjadi tanpa tujuan apapun selain demi membela
ideologi-ideologi menyimpang. Jutaan orang diperlakuan secara tidak manusiawi
yang bahkan binatangpun tidak pantas mendapatkannya. Hampir di setiap waktu dan
tempat muncul para penguasa kejam dan diktator yang bertanggung jawab atas
segala penderitaan dan bencana ini. Mereka adalah Stalin, Lenin, Trotsky, Mao,
Pol Pot, Hitler, Mussolini, Franco.... Sebagian orang-orang ini berideologi
sama, sedangkan sebagian lain adalah musuh bebuyutan bagi yang lain. Hanya
karena alasan sederhana seperti pertentangan ideologis, mereka menyeret
masyarakat ke jurang pertikaian, menjadikan sesama saudara saling bermusuhan,
memicu peperangan di antara mereka, melempar bom, membakar dan merusak mobil,
rumah, dan pertokoan, serta menggerakkan demonstrasi yang penuh kekerasan.
Mereka mempersenjatai orang-orang yang kemudian menggunakannya tanpa belas
kasihan untuk memukul pemuda, orang tua, pria, wanita, dan anak-anak hingga
mati, atau memaksa orang berdiri menghadap tembok dan menembaknya... Mereka
begitu bengis hingga tega mengarahkan senjata ke kepala orang lain dan, dengan
menatap matanya, membunuhnya, lalu menginjak kepalanya dengan kaki mereka,
hanya karena orang tersebut mendukung paham lain. Mereka mengusir orang-orang
dari rumahnya, tidak peduli apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua...
Inilah gambaran singkat tentang
bencana di abad ke-20 yang baru saja kita lewati: orang-orang yang mendukung
berbagai ideologi yang saling bertentangan, dan yang menenggelamkan umat
manusia dalam penderitaan dan genangan darah, dengan mengatasnamakan berbagai
ideologi ini.
Fasisme dan Komunisme berada di
barisan terdepan dari beragam ideologi yang telah menyebabkan umat manusia
menderita di masa suram tersebut. Keduanya seolah terlihat saling bermusuhan,
sebagai paham yang berusaha untuk saling menghancurkan. Namun, terdapat fakta
yang sungguh menarik di sini: ideologi-ideologi ini tumbuh dan dibesarkan oleh
satu sumber ideologis yang sama, serta mendapatkan pengukuhan dan pembenaran
dari sumber tersebut. Dan berkat sumberinilah ideologi-ideologi ini mampu
menarik masyarakat untuk berpihak kepada mereka. Pada pandangan pertama, sumber
ini tidak pernah menarik perhatian siapapun, senantiasa berada di balik layar
hingga sekarang, dan selalu menampakkan diri di hadapan umum dengan wajah tak
berdosa mereka. Sumber ini adalah filsafat materialisme, dan DARWINISME, yakni
bentuk penerapan filsafat materialisme di alam kehidupan.
Darwinisme muncul di abad ke-19
sebagai penghidupan kembali sebuah mitos yang berasal dari bangsa Sumeria dan
Yunani Kuno oleh seorang biologiwan amatir Charles Darwin. Sejak saat tersebut,
Darwinisme telah menjadi sumber inspirasi utama di balik semua ideologi yang
menghancurkan umat manusia. Dengan berkedok ilmiah, Darwinisme memberi jalan
bagi ideologi-ideologi tersebut beserta para pendukungnya untuk melakukan
tindakan politis demi mendapatkan sebuah pembenaran palsu.
Dengan pembenaran palsu ini, tak
lama kemudian teori evolusi meninggalkan bidang ilmu biologi serta
palaeontologi, dan mulai merambah ke hubungan antar manusia hingga ke masalah
sejarah, serta mempengaruhi bidang-bidang lain, dari politik hingga ke
kehidupan sosial. Karena Darwinisme berisi gagasan tertentu yang mendukung
sejumlah aliran pemikiran yang mulai mengarah ke pergerakan dan menunjukkan
keberadaannya di abad ke-19, Darwinisme mendapatkan dukungan luas dari kalangan
ini. Terutama sekali, orang mulai mencoba menerapkan gagasan bahwa terdapat
“perjuangan untuk mempertahankan hidup” di antara mahluk hidup di alam, dan,
akibatnya, gagasan bahwa “yang kuat bertahan hidup, sedangkan yang lainnya
kalah dan musnah” mulai diterapkan pada pemikiran dan perilaku manusia. Ketika
pernyataan Darwinisme tentang “alam adalah arena perjuangan dan pertikaian”
mulai diterapkan pada manusia dan masyarakat, maka gagasan Hitler untuk
membangun ras manusia pilihan, pernyataan Marx tentang “sejarah umat manusia
adalah sejarah perjuangan antarkelas masyarakat”, keyakinan kapitalisme bahwa “
yang kuat tumbuh lebih kuat dengan mengorbankan yang lemah,” penjajahan negara
dunia ketiga oleh bangsa-bangsa penjajah seperti Inggris, penderitaan bangsa
terjajah akibat perlakuan tak manusiawi dari penjajah, perlakuan rasis dan
diskriminasi terhadap orang-orang kulit berwarna, kesemuanya ini mendapatkan
semacam pembenaran.
Meskipun seorang evolusionis,
Robert Wright, pengarang buku The Moral
Animal (Moral Binatang), merangkum berbagai bencana kemanusiaan yang
ditimbulkan teori evolusi sebagaimana berikut :
Bagaimanapun juga, teori evolusi memiliki sejarah
panjang yang sebagian besarnya kelam pada penerapannya dalam masalah
kemanusiaan. Setelah bercampur dengan
filsafat politik di sekitar peralihan abad ini untuk membentuk ideologi tidak
jelas yang dikenal dengan “Darwinisme sosial”, ideologi ini digunakan oleh kaum
rasis, fasis dan kapitalis yang tidak memiliki hati nurani.1
Seperti yang akan diuraikan dalam
buku ini beserta bukti-bukti yang ada di dalamnya, Darwinisme bukanlah sekedar
teori yang berusaha menjelaskan asal mula kehidupan dan hanya terpaku pada
bidang ilmu pengetahuan. Darwinisme adalah sebuah dogma yang masih dengan gigih
dan keras kepala dipertahankan oleh para pendukung ideologi tertentu, meskipun
telah dibuktikan sama sekali keliru dari sudut pandang ilmiah. Di masa kini,
banyak ilmuwan, politikus, dan para pemikir, yang menyadari sisi gelap
Darwinisme ataupun tidak, mendukung dogma ini.
Jika setiap orang mengetahui
ketidakabsahan ilmiah teori ini, yang telah mengilhami para diktator kejam dan
mentalitas serta cara berpikir yang bengis, tidak manusiawi dan mementingkan
diri sendiri, maka ini akan mengakhiri riwayat ideologi-ideologi berbahaya
tersebut. Mereka yang melakukan dan merencanakan kejahatan tidak akan mampu
membenarkan tindakan mereka sendiri dengan mengatakan, “Ini adalah hukum alam.”
Mereka tidak akan lagi memiliki apa yang disebut dengan pembenaran ilmiah bagi
cara pandang mereka yang mementingkan diri sendiri dan tidak mengenal belas
kasih.
Ketika pemikiran Darwinisme yang
menjadi akar berbagai ideologi berbahaya pada akhirnya dirobohkan, maka hanya
ada satu kebenaran yang tersisa. Yakni kebenaran bahwa semua manusia dan alam
semesta diciptakan oleh Allah (Tuhan). Mereka yang memahami hal ini juga akan
menyadari bahwa satu-satunya kenyataan dan kebenaran yang ada terdapat dalam
kitab suci yang Allah turunkan untuk kita. Ketika sebagian besar manusia
menyadari kebenaran ini, penderitaan, kesulitan, pembantaian, bencana,
ketidakadilan, dan kemiskinan di dunia akan tergantikan oleh pencerahan,
keterbukaan, kemakmuran, ketercukupan, kesehatan, dan keberlimpahan. Karenanya,
setiap pemikiran menyimpang yang berbahaya bagi kemanusiaan harus terkalahkan
dan tersingkirkan oleh ajaran mulia yang membawa keindahan dan kedamaian dalam
kehidupan manusia. Membalas batu dengan batu, pukulan dengan pukulan, dan
serangan dengan serangan yang lain bukanlah sebuah pemecahan masalah. Pemecahan
masalah yang sesungguhnya adalah menghancurkan pola pikir mereka yang melakukan
segala tindakan ini, dan dengan sabar dan santun menjelaskan kepada mereka
satu-satunya kebenaran untuk menggantikan kesalahan cara berpikir yang mereka
anut.
Tujuan penulisan buku ini adalah
menunjukkan kepada mereka yang mempertahankan Darwinisme tanpa memahami sisi
gelapnya, sadar ataupun tidak, apa yang sebenarnya mereka dukung, dan untuk
menjelaskan apa yang akan menjadi tanggung jawab mereka jika tetap berpaling
dari kebenaran ini. Tujuan lainnya adalah untuk menyadarkan dan memberi
peringatan kepada mereka yang tidak mempercayai Darwinisme, akan tetapi pada
saat yang sama tidak juga melihatnya sebagai ancaman bagi kemanusiaan.
SEJARAH
SINGKAT DARWINISME
Sebelum menelaah berbagai
penderitaan dan bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia, marilah kita
mempelajari sejarah Darwinisme secara sekilas. Banyak orang percaya bahwa teori
evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang
didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya.
Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh
karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia,
saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul
dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah
kepercayaan tentang “evolusi”. Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari
zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan
dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu.
Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan
diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan
kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain,
menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda
tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan
berkembang.
Kita dapat memahami betapa
kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: “makhluk hidup
berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup.” Dari sini kita dapat memahami
bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa
Sumeria penyembah berhala.
Di kemudian hari, mitos evolusi
tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf
materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya.
Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk
menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat
materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno.
Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang
masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di
dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari
karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir
ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali
mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean
Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru,
Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain
melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang
pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut
dalam bukunya The Origin of Species,
yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang
diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat
bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul
di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui
perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak
diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil,
khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun
demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan
banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya
telah memberikan landasan berpijak ilmiah – yang dahulunya belum diketemukan–
bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.
Alasan
Ideologis Penerimaan Darwinisme
Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu
masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem
teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana
waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan
bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.
Demikian pula,
catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa
mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui
perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan
fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti
apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan
makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para
evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut
dengan berdalih, “Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang.” Tetapi,
mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan
ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab “Kekeliruan Teori Evolusi”)
Apapun yang terjadi, keyakinan para
Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin
telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka
melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara
turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang
menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui
propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini
telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori
Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori
evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan
pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan
pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari
filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan
melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan
Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis
dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun,
pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan ‘ilmiah’ yang
diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi
sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut
berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka
sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme
terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai
ideologi materialistis abad ke-19: “Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh
perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh
yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah.”
Kaitan erat Darwinisme dengan
ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia
diungkap dengan jelas dalam bagian ini.
Darwinisme
Sosial : Penerapan Hukum
Rimba
Dalam Kehidupan Manusia
Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi
adalah “perjuangan untuk mempertahankan hidup” sebagai pendorong utama
terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi
perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah
sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini
mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. “The
Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured
Races in the Struggle for Life” (“Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau
Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.”)
Yang mengilhami Darwin tentang hal
ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan
masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus,
jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya
akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan
bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya
kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah
bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian
orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan
hidup berarti “perang tanpa henti”.
Menurut Darwin buku Malthuslah yang
mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi
mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah
saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus
tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami
bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana,
berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan
tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi
menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah.
Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan
sebuah teori yang dapat saya pakai.2
Pada abad ke-19, gagasan Malthus
telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas
atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang
diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum
dalam artikel The Scientific Background
of the Nazi “Race Purification” Programme (Latar Belakang Ilmiah Program “Pemurnian Ras” oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa,
para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan “masalah
kependudukan” yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran
Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: “Sebagai ganti
ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan
kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan
jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah,
dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun
desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan
pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat,” dan seterusnya,
dan seterusnya.3
Akibat kebijakan biadab ini, yang
kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup,
dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di
Inggris pada abad ke-19, program “penjejalan
orang-orang miskin” ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri
didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun
bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari
mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang
“perjuangan untuk mempertahankan hidup” yang dianggap penting dalam teori
Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup
penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran
Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan
bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat
dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua
tanaman, binatang, dan manusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk
mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah
berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan
keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk
meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban
dalam “perjuangan untuk mempertahankan hidup.”
Karena alasan inilah teori Darwin
mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut
baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara
keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut
hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan
sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya.
Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama
dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi
hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan
yang mendasari adalah semboyan “perjuangan untuk bertahan hidup” dan “kelangsungan
hidup bagi yang terkuat”; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan
dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan
berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di
masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme
mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik
hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang
ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang
tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak
memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan
sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.
RASISME
DAN KOLONIALISME DARWIN
Teman dekat Darwin, Profesor Adam Sedgwick, termasuk
salah seorang yang melihat bahaya yang akan dimunculkan teori evolusi di masa
mendatang. Setelah membaca dan menyelami isi The Origin of Species,
ia mengatakan: “Jika buku ini diterima
masyarakat luas, maka buku ini akan memunculkan kebiadaban terhadap ras manusia
yang belum pernah tersaksikan sebelumnya.”7 Dan ternyata waktu menunjukkan bahwa
kekhawatiran Sedgwick terbukti benar. Abad ke-20 telah tercatat dalam sejarah
sebagai zaman kegelapan di mana manusia melakukan pembunuhan masal terhadap
sesamanya hanya karena ras atau suku bangsa mereka.
Dalam sejarah manusia, diskriminasi
dan pembantaian dengan alasan yang sama tersebut memang telah terjadi sejak
sebelum Darwin. Namun Darwinisme telah
memberikan alasan ilmiah dan pembenaran palsu atas tindakan tersebut.
“Pelestarian
Ras-Ras Pilihan...”
Kebanyakan para pendukung Darwinisme di zaman kita
menyatakan bahwa Darwin tidak pernah berpandangan rasis, akan tetapi para
rasislah yang mengemukakan pemikiran Darwin secara salah untuk disesuaikan
dengan pandangan mereka sendiri. Mereka menegaskan bahwa kalimat “By the Preservation of
Favoured Races” (Dengan Pelestarian Ras-Ras Pilihan) yang
merupakan judul tambahan dari The Origin
of Species hanya berlaku pada binatang. Tetapi, mereka telah mengabaikan
perkataan Darwin tentang ras-ras manusia dalam bukunya.
Menurut pandangan yang dikemukakan
Darwin dalam buku ini, ras-ras manusia berada pada tahap evolusi yang berbeda,
dan sejumlah ras telah berevolusi dan mengalami
perkembangan yang lebih cepat dibanding ras-ras lain. Sebaliknya, beberapa dari
mereka hampir setingkat dengan kera.
Darwin menyatakan bahwa “perjuangan
untuk mempertahankan hidup” juga terjadi antar ras-ras manusia. “Ras-ras
pilihan” muncul sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Menurut Darwin, ras-ras
terpilih adalah bangsa kulit putih Eropa. Sementara ras Asia dan Afrika telah
tertinggal dalam perjuangan untuk mempertahankan hidup. Darwin bahkan melangkah
lebih jauh dengan menyatakan bahwa ras-ras ini tak lama lagi akan kalah dalam
pertarungan untuk mempertahankan hidup di seluruh dunia, dan kemudian musnah.
Menurutnya:
Di masa mendatang, tidak sampai berabad-abad lagi,
ras-ras menusia beradab hampir dipastikan akan memusnahkan dan menggantikan
ras-ras biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kera-kera mirip manusia
…tidak diragukan lagi akan dimusnahkan, selanjutnya jarak antara manusia dengan
padanan terdekatnya akan lebih lebar, karena jarak ini akan memisahkan manusia
dalam keadaan yang lebih beradab, sebagaimana yang kita harapkan, dari
Kaukasian sekalipun, dengan jenis-jenis kera serendah babon, tidak seperti sekarang yang hanya memisahkan negro atau
penduduk asli Australia dengan gorila. 8
Di bagian lain dari buku The Origin of Species, Darwin kembali
menyatakan keharusan ras-ras rendah untuk musnah dan tidak perlunya orang-orang
lebih maju untuk melindungi dan menjaga mereka agar tetap hidup. Ia
membandingkan hal ini dengan orang-orang yang membiakkan binatang ternak:
Orang-orang
biadab yang memiliki kelemahan pada tubuh dan akal dengan segera akan
terhapuskan;
dan mereka yang bertahan hidup biasanya memperlihatkan kondisi kesehatan yang
prima. Sebaliknya, kita manusia-manusia beradab justru berusaha keras untuk
menghentikan proses penghapusan ini; kita bangun rumah-rumah perawatan bagi
orang-orang berpenyakit jiwa, cacat dan sakit; kita terapkan undang-undang bagi
kaum miskin; dan para pekerja medis kita berusaha sekuat tenaga untuk
menyelamatkan nyawa setiap manusia hingga detik yang terakhir. Ada alasan yang
memang dapat dipercaya bahwa vaksinasi telah menyelamatkan ribuan orang, yang
jika kondisi kesehatannya lemah akan terserang penyakit cacar. Dengan demikian,
orang-orang lemah dari masyarakat beradab mampu terus melangsungkan keturunan
mereka. Tak seorang pun yang pernah mengetahui cara pembiakan hewan-hewan
piaraan akan ragu bahwa tindakan ini pasti sangat merugikan bagi ras manusia. 9
Sebagaimana telah kita ketahui,
dalam bukunya The Origin of Species
Darwin menganggap masyarakat pribumi Australia dan Negro berada pada tingkatan
yang
sama dengan gorila, dan menyatakan bahwa ras-ras ini akan
lenyap. Sedangkan terhadap ras-ras lain yang dianggapnya ras “rendah”, ia
berpendapat perlunya mencegah mereka beranak-pinak demi menghantarkan ras-ras
ini pada kepunahan. Demikianlah, jejak rasisme dan diskriminasi yang masih kita
jumpai di masa kini mendapatkan restu dan pembenaran dari Darwin.
Sedangkan tugas bagi “orang yang
beradab” , menurut pandangan rasis Darwin, adalah untuk sedikit mempercepat
masa evolusi, sebagaimana akan kita bahas lebih rinci pada bagian selanjutnya.
Dalam keadaan seperti ini, tidak ada keberatan dari sudut pandang “ilmiah”
terhadap tindakan pemusnahan ras-ras rendah ini sekarang juga; sebab
bagaimanapun juga mereka pada akhirnya akan segera lenyap.
Pandangan rasis Darwin berdampak
nyata di banyak tulisan dan hasil pengamatannya. Sebagai contoh, ia secara
terbuka memperlihatkan pandangan rasisnya ketika menggambarkan keadaan
masyarakat pribumi Teirra del Furo yang disaksikannya selama pelayaran jauh
yang ia ikuti sejak tahun 1871. Ia menggambar-kan pribumi tersebut sebagai
makhluk hidup yang “sepenuhnya telanjang, seluruh tubuhnya dipenuhi zat warna,
memakan apa saja yang mereka temukan layaknya binatang liar, sulit diatur,
kejam terhadap siapapun yang bukan sukunya, merasa senang ketika menyiksa
musuh, mempersembahkan kurban berdarah, membunuh anak-anak mereka sendiri,
memperlakukan istri dengan kasar, meyakini banyak takhayul yang aneh.”
Sebaliknya, seorang peneliti, W.P. Snow, yang sepuluh tahun sebelumnya telah
mengunjungi wilayah yang sama, mengemukakan pemandangan yang sangat berbeda.
Menurut Snow, penduduk Tiera Del Fuego adalah “orang-orang yang terlihat sehat
dan kuat; sangat mencintai anak-anak mereka; sejumlah barang mereka dibuat
dengan sangat ahli; mereka mengenal semacam hak kepemilikan terhadap sesuatu;
dan mereka memberikan wewenang dan kuasa kepada beberapa perempuan yang
dituakan.” 10
Kolonialisme
Inggris dan Darwinisme
Negara yang paling banyak diuntungkan oleh pandangan
rasis Darwin adalah tanah air Darwin sendiri, Inggris. Di tahun-tahun ketika
Darwin mengemukakan teorinya, Inggris Raya tengah mendirikan imperium
kolonialis nomor satu di dunia. Seluruh sumber kekayaan alam dari India hingga
Amerika Latin dikeruk oleh Imperium Inggris. Orang “kulit putih” ini sedang
menjarah dunia untuk kepentingannya sendiri.
Dipelopori oleh Inggris, tentunya
tidak ada negara kolonialis yang mau dianggap sebagai “penjarah”, dan tercatat
dalam sejarah dengan julukan semacam ini. Karenanya, mereka mencari alasan
untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Salah satu alasan
yang mungkin adalah dengan menampilkan rakyat terjajah sebagai “masyarakat
primitif” atau “makhluk mirip binatang”. Dengan cara seperti ini, mereka yang
dibantai dan diperlakukan dengan tidak manusiawi dapat dipandang bukan sebagai
manusia, melainkan makhluk separuh manusia separuh binatang. Dengan demikian,
perlakuan buruk terhadap mereka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan.
Sesungguhnya, alasan yang
dicari-cari seperti ini bukanlah barang baru. Tersebarnya kolonialisme di dunia
telah bermula sejak abad ke-15 dan ke-16. Pernyataan bahwa sejumlah ras
memiliki sebagian sifat binatang pertama kali dikemukakan oleh Christopher
Columbus dalam penjelajahannya ke benua Amerika. Menurut pernyataan ini,
penduduk asli Amerika bukanlah manusia, akan tetapi sejenis binatang yang telah
berkembang. Oleh karenanya, mereka dapat dijadikan pelayan bagi para penjajah
Spanyol.
Meskipun Columbus digambarkan dalam
sejumlah film tentang penemuan benua Amerika sebagai orang yang memiliki rasa
persahabatan dan kemanusiaan terhadap penduduk asli, kenyataan membuktikan
bahwa Columbus tidak menganggap para penduduk asli tersebut sebagai manusia.19
Christopher Columbus adalah yang
pertama kali melakukan pembantaian besar-besaran. Columbus mendirikan daerah
jajahan Spanyol di wilayah-wilayah yang ia temukan, dan memperbudak penduduk
pribumi. Ia bertanggung jawab atas dimulainya perdagangan budak. Para
“penjajah” Spanyol menyaksikan kebijakan penindasan dan pemerasan yang
dijalankan Columbus, dan melanjutkan hal yang sama. Akibatnya, pembantaian yang
dilakukan mencapai batas yang sulit dipercaya. Misalnya, penduduk sebuah pulau
yang pada saat pertama kali dikunjungi Colum bus berjumlah 200.000, setelah 20 tahun berkurang menjadi
50.000, dan pada tahun 1540 hanya 1.000 orang yang masih tersisa. Saat seorang
penjajah Spanyol terkenal, Cortes, menginjakkan kakinya untuk pertama kali di
Meksiko di bulan Februari 1519, keseluruhan penduduk aslinya berjumlah 25 juta,
namun di tahun 1605 jumlah ini berkurang menjadi 1 juta. Di Pulau Hispaniola,
jumlah penduduk yang tadinya 7-8 juta pada tahun 1492, menjadi 4 juta jiwa pada
tahun 1496, dan hanya tersisa 125 orang pada tahun 1570. Berdasarkan angka para
sejarawan, dalam waktu kurang dari seabad setelah Columbus pertama kali
menginjakkan kakinya di benua tersebut, 95
juta manusia dibantai oleh para penjajah. Ketika Columbus menemukan
Amerika, 30 juta penduduk asli mendiami benua tersebut. Akibat pembantaian yang
terjadi di masa lalu dan masa kini, mereka telah menjadi ras punah dan kurang
dari 2 juta orang saja yang masih tersisa.
Yang menyebabkan pembantaian
tersebut mencapai tingkat yang sungguh sangat biadab ini adalah anggapan bahwa
para penduduk asli tersebut bukanlah manusia sejati, melainkan binatang.
Kebencian Darwin
terhadap Bangsa Turki
Sasaran paling utama bagi penjajahan Inggris di
akhir abad ke-19 adalah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di masa itu, imperium Utsmaniyyah
memerintah wilayah sangat luas yang terbentang dari Yaman hingga
Bosnia-Herzegovina. Namun hingga saat itu, wilayah yang sebelumnya damai, tentram dan stabil tersebut menjadi
sulit untuk diatur. Penduduk Kristen yang berjumlah sedikit mulai melakukan
pemberontakan dengan dalih ingin merdeka, dan kekuatan militer raksasa seperti
Rusia mulai mengancam kedaulatan Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di seperempat terakhir abad ke-19,
Inggris dan Prancis bersekutu dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang
Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di
bagian selatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani
pada tahun 1878, adalah wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah
wilayah Utsmaniyyah. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882, Inggris
menduduki Mesir, yang masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris
mulai melancarkan siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah
di Timur Tengah di kemudian hari.
Seperti biasanya, Inggris
mendasarkan politik penjajahan ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris
dengan sengaja berusaha menampilkan bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara
Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa “terbelakang”.
Perdana Menteri Inggris William
Ewart Gladstone secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili
bagian dari umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban
mereka, mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari
Anatolia.23
Perkataan ini, dan semisalnya,
digunakan selama puluhan tahun oleh pemerintah Inggris sebagai alat propaganda
melawan bangsa Utsmaniyyah. Inggris berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa
terbelakang yang harus tunduk kepada ras-ras Eropa yang lebih maju.
Yang menjadi “landasan ilmiah” bagi
propaganda ini adalah Charles Darwin!
Sejumlah pernyataan Darwin tentang
bangsa Turki muncul dalam buku berjudul The
Life and Letters of Charles Darwin yang terbit pada tahun 1888. Darwin
mengemukakan bahwa dengan menghapuskan “ras-ras terbelakang” seleksi alam akan
mampu berperan dalam pembangunan peradaban, dan kemudian menuturkan perkataan
yang sama persis sebagaimana berikut ini tentang bangsa Turki:
Saya dapat menunjukkan bahwa peperangan dalam rangka
seleksi alam telah dan masih lebih memberikan manfaat bagi kemajuan peradaban
daripada yang tampaknya cenderung anda akui. Ingatlah bahaya yang harus dialami
bangsa-bangsa Eropa, tak sampai berabad-abad yang lalu, karena dikalahkan oleh
orang-orang Turki, dan betapa bodohnya jika pandangan seperti ini sekarang
masih ada! Ras-ras ‘Kaukasia’ yang lebih beradab telah mengalahkan bangsa Turki
hingga tak berdaya dalam peperangan untuk mempertahankan hidup. Melihat dunia
masa depan yang tidak begitu lama lagi, betapa tak terhitung jumlah ras-ras
rendah yang akan dimusnahkan oleh ras-ras lebih tinggi dan berperadaban di
seluruh dunia.24
Pernyataan Darwin yang tidak masuk
akal ini adalah alat propaganda tertulis untuk mendukung politik Inggris yang
ingin menghancurkan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Dan alat propaganda ini
ternyata cukup ampuh. Perkataan Darwin yang pada intinya berarti “Bangsa Turki
akan segera musnah, ini adalah hukum evolusi” memberi semacam ‘pembenaran
ilmiah’ bagi propaganda Inggris dengan tujuan menciptakan kebencian terhadap
orang-orang Turki.
Keinginan Inggris untuk mewujudkan
ramalan Darwin pada intinya terpenuhi dalam Perang Dunia Pertama. Perang besar
ini, yang dimulai pada tahun 1914, terjadi akibat perang kepentingan antara
Jerman dan Austria-Hongaria di satu pihak, dan persekutuan antara Ingggris,
Prancis, dan Rusia di pihak lain. Namun satu hal terpenting dalam perang ini
adalah tujuan untuk menghancurkan dan memecah belah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah
dari dua arah yang terpisah. Yang pertama adalah melalui arah terusan Suez di
Mesir, Palestina, dan Irak, yang akan dibuka dengan maksud merebut wilayah
Utsmaniyyah di Timur Tengah. Yang kedua adalah melalui Gallipoli, salah satu
medan pertempuran paling berdarah pada Perang Dunia Pertama. Pasukan Turki di
Çanakkale bertempur dengan gagah berani dan kehilangan 250.000 tentaranya saat
melawan kekuatan musuh yang dihimpun Inggris. Sedangkan Inggris, daripada
mengerahkan pasukannya sendiri, lebih suka mengirimkan tambahan pasukan India
dan kesatuan Anzac yang mereka himpun dari daerah jajahannya seperti Australia
dan Selandia Baru, yang mereka pandang sebagai “ras terbelakang”, untuk
memerangi tentara Turki.
Permusuhan Darwin terhadap rakyat
Turki terus berlanjut hingga setelah Perang Dunia Pertama. Kelompok-kelompok
Neo-Nazi Eropa yang menyerang warga Turki di Eropa masih saja mengambil
pembenaran dari pernyataan Darwin yang tidak masuk akal tentang bangsa Turki.
Ucapan Darwin tentang bangsa Turki masih dapat ditemukan di situs-situs
internet yang dikelola para rasis yang memusuhi orang Turki tersebut. (Lihat
bab tentang Kaitan Erat antara Darwin dan Hitler.)
Rasisme dan
Darwinisme Sosial di Amerika
Tidak hanya di Inggris, Darwinisme sosial juga memberikan
dukungan bagi kaum rasis dan imperialis di negara-negara lain. Karenanya, paham
ini tersebar dengan cepat ke seluruh dunia. Yang terdepan di antara para
penganut teori tersebut adalah presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt.
Roosevelt adalah pendukung terkemuka dan tokoh yang menerapkan program
pembersihan etnis terhadap penduduk asli Amerika dengan dalih “pemindahan
paksa”. Dalam buku The
Winning of the West, ia merumuskan ideologi pembantaian, dan mengatakan bahwa
peperangan antar ras hingga titik penghabisan melawan suku Indian sungguh tidak
terelakkan.25 Yang menjadi sandaran utamanya adalah
Darwinisme, yang telah memberikan dalih baginya untuk menganggap penduduk asli
sebagai spesies terbelakang.
Sebagaimana perkiraan Roosevelt,
tak satupun perjanjian dengan penduduk asli Amerika yang dihormati, dan ini pun
mendapatkan pembenaran palsu dari teori “ras terbelakang”. Pada tahun 1871,
Konggres mengabaikan semua perjanjian yang dibuat dengan penduduk asli Amerika
dan memutuskan untuk membuang mereka ke daerah tandus, tempat mereka
menunggu-nunggu saat datangnya kematian. Jika pihak lain tidak dianggap sebagai
manusia, bagaimana mungkin perjanjian yang dibuat dengan mereka memiliki
keabsahan?
Roosevelt juga mengemukakan bahwa
peperangan antar ras sebagaimana disebutkan di atas merupakan tanda
keberhasilan tersebarnya orang-orang berbahasa Inggris (Anglo-Saxons) ke
seluruh dunia.26
Salah seorang pendukung utama
rasisme Anglo-Saxon, pendeta evolusionis Protestan asal Amerika, Josiah Strong,
memiliki jalan berpikir yang sama. Ia menulis perkataan berikut:
Kemudian dunia benar-benar akan memasuki babak baru
dalam sejarahnya – kompetisi akhir di antara ras-ras di mana ras Anglo-Saxon
tengah menjalani pelatihan untuk menghadapinya. Jika perkiraan saya tidak
keliru, ras kuat ini akan bergerak memasuki Meksiko, Amerika Tengah dan
Selatan, bergerak keluar memasuki pulau-pulau yang ada di lautan, ke seberang
memasuki Afrika dan seterusnya, dan menguasai semua wilayah. Dan adakah yang
meragukan bahwa hasil kompetisi ini
adalah “kelangsungan hidup bagi yang terkuat?”.27
Kaum rasis terkemuka yang
menggunakan Darwinisme Sosial sebagai dalih adalah mereka yang memusuhi ras
kulit hitam. Mereka mengelompokkan ras menjadi beberapa tingkatan, menempatkan
ras kulit putih sebagai yang paling unggul dan kulit
hitam sebagai yang paling primitif. Teori-teori rasis mereka ini sangat
bersesuaian dengan teori evolusi.28
Salah seorang pakar teori rasis
evolusionis terkemuka, Henry Fairfield Osborn, menulis dalam sebuah artikel berjudul
The Evolution of Human Races bahwa
“kecerdasan standar rata-rata orang Negro dewasa setara dengan anak muda Homo sapiens berusia sebelas tahun”29
Berdasarkan cara berpikir ini,
orang-orang kulit hitam sama sekali bukan tergolong manusia. Pendukung gagasan
rasis evolusionis yang terkenal lainnya, Carleton Coon, mengemuka-kan dalam
bukunya The Origins of Race yang terbit pada tahun 1962 bahwa ras kulit
hitam dan ras kulit putih adalah dua spesies berbeda yang telah berpisah satu
sama lain pada zaman Homo erectus.
Menurut Coon, ras kulit putih berevolusi lebih maju setelah pemisahan ini. Para
pendukung diskriminasi terhadap ras kulit hitam telah menggunakan penjelasan
‘ilmiah’ ini sejak lama.
Keberadaan teori ilmiah yang
mendu-kungnya telah meningkatkan pertumbuhan
rasisme di Amerika dengan pesat. W.E. Dubois, yang dikenal sebagai penentang
diskriminasi ras, menyatakan bahwa “permasalahan abad ke-20 adalah permasalahan
tentang diskrimi-nasi warna kulit”. Menurutnya, kemunculan masalah rasisme yang
sedemikian meluas di sebuah negara yang ingin menjadi paling demokratis di
dunia, yang dalam beberapa hal tampak
berhasil mencapainya, merupakan suatu keanehan yang cukup penting. Penghapusan
perbudakan belumlah cukup untuk membangun persaudaraan di antara orang-orang
kulit hitam dan kulit putih. Ia berpendapat bahwa diskriminasi resmi, yang
dahulunya pernah diberlakukan dalam waktu singkat, pada masa sekarang telah
menjadi suatu kenyataan dan keadaan yang sah secara hukum, yang jalan keluarnya
masih dalam pencarian30
Kemunculan undang-undang
diskriminasi ras pertama, yang dikenal sebagai “Undang-Undang Jim Crow” (Jim
Crow digunakan oleh warga kulit putih sebagai salah satu nama celaan untuk
orang kulit hitam) juga terjadi pada masa itu. Ras kulit hitam benar-benar
tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, dipandang rendah dan
diperlakukan dengan hina di mana-mana. Terlebih lagi, ini bukanlah sikap
segelintir rasis secara orang per orang, namun telah ditetapkan sebagai
kebijakan resmi negara Amerika dengan undang-undangnya tersendiri. Segera
setelah dikeluarkannya undang-undang pertama yang menyetujui pemisahan ras pada
kereta api dan trem di Tennessee pada tahun 1875, seluruh negara bagian di
Selatan menerapkan pemisahan ini pada kereta api mereka. Tanda bertuliskan
“Whites Only” (“Hanya Untuk Kulit Putih”) dan “Blacks” (“Kulit Hitam”)
tergantung di mana-mana. Sebenarnya, semua ini hanyalah pemberian status resmi
pada keadaan yang sebelumnya telah ada. Pernikahan antar ras yang berbeda
dilarang. Menurut undang-undang yang berlaku, pemisahan ras wajib dilaksanakan
di rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman. Pada penerapannya, peraturan ini
juga merambah ke hotel, gedung pertunjukan, perpustakaan, bahkan lift dan
gereja. Tempat di mana terjadi pemisahan ras paling jelas adalah sekolah.
Penerapan kebijakan ini berdampak paling besar terhadap warga kulit hitam, dan
merupakan penghalang utama bagi kemajuan peradaban mereka.
Penerapan kebijakan pemisahan ras
diwarnai dengan gelombang kekerasan. Terjadi peningkatan tajam pada jumlah
orang kulit hitam yang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan. Antara
tahun 1890 dan 1901, sekitar 1.300 orang kulit hitam dihukum mati. Akibat
perlakuan ini, orang-orang kulit hitam melakukan perlawanan di beberapa negara
bagian.
Gagasan dan teori rasis mewarnai
masa-masa tersebut. Tak lama kemudian, rasisme biologis Amerika diterapkan
sebagaimana hasil penelitian yang dicapai R. B. Bean melalui metoda pengukuran
tengkoraknya, dan dengan dalih melindungi penduduk benua baru tersebut dari
gelombang migrasi tak terkendali, muncullah rasisme Amerika
gaya . Madison Grant, pengarang buku The Passing of the Great Race (1916) menulis bahwa percampuran dua ras
tersebut akan menyebabkan munculnya ras yang lebih primitif dibanding spesies
berkelas rendah, dan ia menghendaki pelarangan atas perkawinan antar ras. 31
Rasisme telah ada di Amerika
sebelum Darwin, sebagaimana halnya di seluruh dunia. Namun, seperti yang telah
kita ketahui, Darwinisme memberikan dukungan nyata terhadap pandangan dan kebijakan
rasis di paruh kedua abad ke-19. Sebagai contoh, sebagaimana yang telah kita
pahami dalam bab ini, ketika para pendukung rasisme melontarkan pandangan
mereka, mereka menggunakan pernyataan Darwinisme sebagai dalih. Gagasan yang
dianggap biadab sebelum masa Darwin, kini mulai diterima sebagai hukum alam.
Kebijakan
Biadab Pendukung Rasisme-Darwinisme
Pemusnahan
Warga Aborigin
Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan
Aborigin. Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun
mengalami salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan
penyebaran para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan
ini adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku
aborigin telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.
Pada tahun 1870, Max Muller,
seorang antropolog evolusionis dari London
Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi tujuh tingkatan.
Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu orang kulit putih
Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis Sosial terkenal,
mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada tahun 1876 sebagaimana
berikut:
Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki arti:
kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum seleksi alam
yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa perasaan belas kasih
ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia dan Maori...dan kita rampas
warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah. 32
Pada tahun 1890, Wakil Presiden
Royal Society of Tasmania, James Barnard, menulis: “proses pemusnahan adalah
sebuah aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat.” Oleh
sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa “ada tindakan
yang patut dicela” dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga aborigin
Australia.33
Akibat pandangan rasis, yang tak
mengenal belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat
dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin
dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan
kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman
aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34
Kebijakan yang ditujukan terhadap
aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang
diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington
D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000
warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan
untuk mengetahui apakah benar mereka adalah “mata rantai yang hilang” dalam
peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia.
Musium tidak hanya tertarik dengan
tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin
dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin
Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan
sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:
Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang
menjadi mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan
bagaimana ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat
pada tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.
Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney
selama 20 tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku
saku Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan “binatang-binatang
Australia”. Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya
tentang cara bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka
akibat peluru pada “spesimen” yang baru terbunuh.
Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki
‘Angel of Black Death’ atau ‘Malaikat Kematian si Hitam’) datang ke Australia
untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin untuk
ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk diisi dengan
bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada atasannya di Museumnya.
Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan segera balik ke negaranya
sambil membawa sejumlah spesimennya.
Misionaris New South wales adalah saksi yang merasa
ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda terhadap sekelompok
yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan dan anak-anak. Empat puluh
lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak terbaiknya dibungkus dan di kirim
ke luar negeri. 35
Pemusnahan suku aborigin berlanjut
hingga abad ke-20. Di antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah
pengambilan paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan
Thornhill, yang muncul di Philadelphia
Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan perlakuan terhadap suku
aborigin sebagai berikut:
KISAH
PENCULIKAN KELUARGA ABORIGIN
Associated Press – Warga aborigin yang
tinggal di gurun pasir terpencil Australia di sebelah barat laut terbiasa
mencorengkan arang pada kulit anak-anak mereka yang berwarna terang, dengan
maksud mencegah para petugas kesejahteraan negara membawa mereka pergi. “Para
petugas kesejahteraan tersebut menangkap anda begitu saja ketika mereka
menemukan anda,” ujar seorang anak yang pernah diculik, bertahun-tahun
kemudian. “Warga kami akan menyembunyikan kami dengan mewarnai kami menggunakan
arang.”
“Saya dibawa ke Moola Bulla”, ucap salah seorang
pekerja yang diculik ketika masih kanak-kanak. “Saat itu kami berusia sekitar 5
atau 6 tahun.” Kisahnya ini adalah satu di antara ribuan yang didengar oleh
Australia’s Human Rights And Equal Opportunity Commission (Komisi Hak Asasi
Manusia Australia) selama pemeriksaan yang memilukan tentang “generasi yang
dicuri”. Dari tahun 1910 hingga 1970-an sekitar 100.000 anak-anak aborigin
diambil dari para orang tua mereka... Anak-anak berkulit terang dirampas dan
diserahkan kepada keluarga kulit putih untuk dijadikan anak angkat. Anak-anak
berkulit gelap ditempatkan di panti asuhan. 36
Inilah alasan
mengapa penemuan manusia
Piltdown
membangkit-kan kegembiraaan luar biasa di Inggris. Koran-koran menampilkannya
sebagai judul utama, dan kerumunan masyarakat bersuka cita merayakan penemuan
tersebut. Pemerintah Inggris bahkan memberi gelar kesatria kepada Arthur Keith
untuk penemuannya.
Ahli paleontologi evolusionis
terkenal, Don Johanson, menjelaskan kaitan antara manusia Piltdown dan
imperialisme Inggris:
Penemuan Piltdown sangat
Eurosentris. Tidak hanya otaknya yang memiliki “keunggulan”, tapi bangsa
Inggris juga memiliki keunggulan.*
Inspirasi yang didapatkan
Inggris dari penemuan manusia Piltdown berlangsung hanya hingga tahun 1953,
ketika Kenneth Oakley, ilmuwan yang memeriksa ulang fosil tersebut dengan lebih
teliti, mengungkapnya sebagai pemalsuan terbesar abad ke-20. Fosil tersebut
dibuat dengan merekatkan rahang orang utan pada tengkorak manusia.
*Don Johnson, In Search of Human Origins, 1994 WHGB
Educational Foundation
Pertunjukan
Manusia dan Kera Tidak
Direstui
Kalangan Pendeta
Pdt. Dr. MacArthur Menganggap Pertunjukan Tersebut
Merendahkan Martabat
“Orang yang bertanggung jawab atas tontonan ini
telah merendahkan martabat dirinya sendiri sebagaimana perlakuaannya terhadap
orang Afrika tersebut,” kata Dr. MacArthur, “Daripada memperlakukan saudara
kecil ini sebagai seekor binatang, ia sepatutnya dimasukkan
ke sekolah untuk mengembangkan kemampuan sebagaimana yang telah Tuhan
karuniakan kepadanya”.
Dr.Gilbert mengatakan dirinya telah memutuskan bahwa
tontonan tersebut merupakan bentuk kebiadaban dan bahwa ia dan para pastur
lainnya akan bergabung dengan Dr. MacArthur demi memperjuangkan agar Ota Benga
dibebaskan dari kandang kera dan diletakkan di tempat lain.41
Akhir dari segala perlakuan tidak
manusiawi ini adalah tindakan bunuh diri Ota Benga. Tetapi di sini,
permasalahannya lebih besar dari sekedar hilangnya nyawa seorang manusia. Kejadian
ini merupakan contoh nyata dari kekejaman dan kebiadaban yang dimunculkan dalam
kehidupan oleh rasisme para pendukung Darwinisme.
KEMULIAAN
BERSUMBER DARI AKHLAK, DAN BUKAN DARI RAS ATAU KETURUNAN
Darwin menggambarkan manusia sebagai spesies binatang
yang berkembang. Ia juga mengemukakan bahwa sejumlah ras belum menyempurnakan
perkembangan mereka, dan sebagai spesies yang lebih dekat kepada binatang.
Dalam sejarah umat manusia, semua gagasan ini terbukti sangat berbahaya dan
bersifat menghancurkan. Mereka yang telah menjadikan pernyataan Darwin sebagai
pedoman hidup mereka telah menindas ras-ras lain tanpa belas kasih, memaksa
mereka hidup dalam keadaan yang sangat sulit, dan bahkan memusnakan mereka.
Bryan Appleyard, penulis buku Brave New Worlds, menjelaskan sifat
bengis yang mendasari rasisme, beserta akibatnya, sebagaimana berikut:
Intinya adalah bahwa sekali orang menganggap anda
sebagai makhluk yang rendah dengan dalih apapun, entah takhayul atau ilmiah,
tampaknya tidak ada batas sekejam apa tindakan yang mungkin mereka lakukan
terhadap anda. Dan mereka sangat mungkin akan melakukan kekejaman tersebut
setelah merasa mendapatkan pembenaran secara penuh, karena ini merupakan
tahapan kecil dari meyakini manusia lain sebagai kelas rendah kepada meyakini
bahwa ia buruk, berbahaya, atau merupakan ancaman terhadap manusia kelas
‘unggul’. Bahkan, sebagian orang mungkin memberlakukan hal ini secara lebih
umum dan menegaskan bahwa semua yang tergolong ‘rendah’ adalah berbahaya karena
mengancam kehidupan atau kesehatan seluruh ras manusia. Lalu mereka dapat
menganjurkan sterilisasi, pembatasan perkawinan, atau bahkan pembunuhan demi
mencegah ancaman dari orang-orang yang tersingkir ini terhadap keutuhan spesies
tersebut. 42
Sesungguhnya, semua manusia diciptakan
sama. Setiap orang diciptakan oleh Allah (Tuhan). Alquran menjelaskan
penciptaan manusia sebagaimana berikut:
Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur! (QS. As Sajdah,
32:7-9)
Sebagaimana diungkap dalam ayat di
atas, manusia memiliki ruh yang Allah tiupkan ke dalam diri mereka. Setiap
manusia dari ras manapun berpikir, merasakan, mencintai, menderita, merasakan
kegembiraan, memahami perasaan cinta, kasih sayang, dan haru. Setiap orang juga
mengetahui kekejaman, kehinaan, dan kesusahan. Dengan demikian, sepanjang
sejarah, mereka yang memyakini manusia dari ras-ras lain sebagai binatang yang
belum sepenuhnya berkembang dan menganiaya mereka; mereka yang menyakiti,
menindas, memeras walau hanya satu orang; dan mereka yang mendukung segala
tindakan ini dengan bukti dan teori palsu yang mereka buat telah melakukan dosa
besar dikarenakan kebodohan mereka.
Di masa kini masih terdapat budaya
dari masyarakat manusia yang relatif belum berkembang. Orang-orang ini memiliki
seluruh sifat kemanusiaan, akan tetapi mereka tidak memiliki ciri-ciri yang,
dipandang dari sisi teknik dan budaya, umumnya berlaku di seluruh dunia. Iklim
dan kondisi alam di mana mereka tinggal telah menyebabkan banyak masyarakat
hidup terisolasi dari masyarakat dunia pada umumnya, dan mereka telah membangun
budaya yang sangat berbeda. Tetapi pada setiap masyarakat ini terdapat semua
ciri, adat-istiadat, dan kebiasaan yang secara umum berlaku bagi seluruh umat
manusia. Mereka yang memiliki rencana tersembunyi, dan yang diuntungkan dengan
adanya rasisme, bersemangat dalam mengimani teori Darwin. Mereka menganggap
orang-orang yang terisolasi tersebut, yang sebenarnya tidak berbeda dengan
manusia-manusia lainnya, sebagai anggota ras rendah, bahkan sebagai binatang.
Akibat berpandangan seperti ini, bahkan di masa kita, muncullah orang-orang
yang menindas dan memandang hina manusia serta masyarakat terbelakang dengan
berdalih bahwa mereka belum cukup berevolusi.
Akan tetapi Allah benar-benar
mengharamkan rasisme. Allah menciptakan setiap manusia dengan warna kulit dan
bahasanya yang berbeda-beda. Ini adalah tanda kesempurnaan dan keberagaman
ciptaan Allah:
Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar
Ruum, 30:22)
Dalam pandangan
Allah, satu-satunya keunggulan dan kemuliaan manusia terletak pada sifat,
kemampuannya menghindari segala bentuk perbuatan dosa, kedurhakaan, kebejatan
dan perilaku menyimpang, dan akhlak mulia yang bersumber pada ketakwaannya.
Selain ketakwaan, tak seorang manusiapun dapat memiliki.
KAITAN
ERAT ANTARA DARWIN DAN FASISME
Aliansi
Berdarah Antara Darwin dan Hitler
N azisme lahir di tengah
kekacauan di Jerman yang menderita kekalahan dalam perang dunia pertama.
Pemimpin partai ini adalah Adolf Hitler, sosok pemarah dan agresif. Rasisme
melandasi cara pandang Hitler terhadap dunia. Ia meyakini Arya, yang merupakan
ras utama bangsa Jerman, sebagai ras paling unggul di atas semua ras lain,
sehingga sudah sepatutnya memimpin mereka. Ia memimpikan bahwa ras Arya akan
mendirikan imperium dunia yang akan bertahan selama 1000 tahun.
Landasan ilmiah yang digunakan
Hitler bagi teori rasis ini adalah teori evolusi Darwin. Tokoh utama yang
mempengaruhi pemikiran Hitler, yakni sejarawan rasis Jerman Herinrich Von
Treitschke, sangat dipengaruhi teori evolusi Darwin dan mendasarkan pandangan
rasisnya pada Darwinisme. Ia sering berkata, “Bangsa-bangsa hanya mampu berkembang melalui persaingan sengit
sebagaimana gagasan Darwin tentang kelangsungan hidup bagi yang terkuat,”
dan memaklumkan bahwa ini berarti peperangan tanpa henti yang tak terhindarkan.
Ia berpandangan bahwa, “Penaklukan
dengan pedang adalah cara untuk membangun peradaban dari kebiadaban dan ilmu
pengetahuan dari kebodohan.” Ia berpendapat, “Ras-ras kuning tidak memahami
ketrampilan seni dan kebebasan politik. Sudah
menjadi takdir ras-ras hitam untuk melayani bangsa kulit putih dan menjadi
sasaran kebencian orang kulit putih untuk selamanya...”43
Saat membangun teorinya, Hitler,
sebagaimana Treitschke, mendapatkan ilham dari Darwin, terutama gagasan Darwin
tentang perjuangan untuk bertahan hidup. Judul bukunya yang terkenal, yakni Mein Kampf (Perjuangan Saya), telah
terilhami oleh gagasan tersebut. Seperti halnya Darwin, Hitler memberikan
status kera pada ras selain Eropa, dan mengatakan, “Singkirkan bangsa Jerman
Nordik dan tidak ada yang tersisa kecuali tarian para kera”.44
Dalam
rapat umum partai pada tahun 1933 di Nuremberg, Hitler mengatakan bahwa, “ras
yang lebih tinggi menjajah ras yang lebih rendah…sebuah kebenaran yang kita saksikan di alam dan yang dapat dianggap sebagai
satu-satunya kebenaran yang mungkin,” karena didasarkan pada ilmu pengetahuan.45
Hitler, yang meyakini keunggulan
ras Arya, mempercayai keunggulan tersebut sebagai pemberian alam. Dalam buku Mein Kampf ia menulis sebagai berikut:
Orang-orang Yahudi membentuk ras pesaing lebih
rendah di bawah manusia, yang telah ditakdirkan oleh warisan biologis mereka
sebagai yang terhina, sebagaimana ras
Nordik telah dinobatkan sebagai yang terhormat… Sejarah akan berpuncak pada
sebuah imperium milenium baru dengan kemegahan yang tiada tara, yang
berlandaskan pada hirarki baru berdasarkan ras sebagaimana ketentuan alam itu
sendiri.46
Hitler, yang menganggap manusia
sebagai jenis binatang yang sangat maju, percaya bahwa untuk mengatur proses
evolusi, diperlukan pengambil-alihan kendali proses tersebut ke tangannya
sendiri dalam rangka membangun ras manusia Arya, daripada membiarkannya diatur
oleh kekuatan alam dan peristiwa kebetulan. Dan inilah tujuan akhir pergerakan
Nazi. Untuk mewujudkan tujuan ini, langkah awalnya adalah memisahkan, dan
mengucilkan ras-ras lebih rendah dari ras Arya yang dianggap paling unggul.
Di sinilah Nazi mulai menerapkan
Darwinisme dengan mengambil contoh dari “teori eugenika” yang bersumber pada
Darwinisme.
Teori Eugenika
Didasarkan pada Gagasan Darwin
Teori eugenika muncul di pertengahan awal abad
ke-20. Eugenika berarti membuang orang-orang berpenyakit dan cacat, serta
“memperbaiki” ras manusia dengan memperbanyak jumlah individu sehat.
Sebagaimana hewan jenis unggul dapat dibiakkan dengan mengawinkan induk-induk
hewan yang sehat, maka berdasarkan teori ini ras manusia pun dapat diperbaiki
melalui cara yang sama.
Seperti telah diduga, yang
memunculkan program eugenika adalah para Darwinis. Para pemuka pergerakan
eugenika di Inggris adalah sepupu Charles Darwin, Francis Galton, dan anaknya
Leonard Darwin.
Telah jelas bahwa gagasan eugenika
merupakan akibat alamiah Darwinisme. Bahkan, kebenaran tentang eugenika ini
mendapatkan tempat istimewa dalam berbagai penerbitan yang mendukung eugenika,
“Eugenika adalah pengaturan mandiri evolusi manusia”, bunyi salah satu tulisan
tersebut.
Kenneth Ludmerer, ahli sejarah
kedokteran di Washington University, mengemukakan bahwa gagasan eugenika seusia
dengan gagasan Republik Plato, tapi ia juga
menambahkan bahwa Darwinisme merupakan penyebab munculnya ketertarikan terhadap
gagasan eugenika di abad ke-19:
…pemikiran eugenika modern muncul hanya pada abad
ke-19. Adanya ketertarikan terhadap eugenika selama abad itu disebabkan oleh
banyak hal. Di antara yang terpenting adalah teori evolusi, sebab gagasan
Francis Galton tentang eugenika – dan dialah yang menciptakan istilah eugenika
– adalah akibat logis langsung dari doktrin ilmiah yang dikemukakan sepupunya,
Charles Darwin.47
Di Jerman, orang pertama yang
terpengaruh dan kemudian menyebarkan teori eugenika adalah ahli biologi
evolusionis terkenal Ernst Haeckel. Haeckel adalah teman dekat sekaligus
pendukung Darwin. Untuk mendukung teori evolusi, ia mengemukakan teori
“rekapitulasi”, yang menyatakan bahwa embrio dari berbagai makhluk hidup
menyerupai satu sama lain. Di kemudian hari diketahui ternyata Haeckel telah
memalsukan data ketika memunculkan pendapatnya ini.
Selain membuat pemalsuan ilmiah,
Haeckel juga menyebarkan propaganda eugenika. Ia menyarankan agar bayi cacat
yang baru lahir segera dibunuh karena hal ini akan mempercepat evolusi pada
masyarakat manusia. Ia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan para
penderita lepra dan kanker serta yang berpenyakit mental harus dibunuh dengan
tanpa ada masalah, sebab jika tidak, mereka akan membebani masyarakat dan
memperlambat evolusi.
Peneliti Amerika George Stein
berkesimpulan tentang dukungan buta Haeckel terhadap teori evolusi dalam
artikelnya di majalah American Scientist
sebagai berikut:
…[Haeckel] berpendapat bahwa Darwin benar…manusia,
tanpa perlu dipertanyakan lagi, berevolusi dari dunia hewan. Demikianlah, dari
sini langkah maut telah diambil saat Haeckel pertama kali mengemukakan
Darwinisme ke seluruh penjuru Jerman, keberadaan manusia secara sosial dan
politik dikendalikan oleh hukum-hukum evolusi, seleksi alam, dan biologi,
sebagaimana dikemukakan secara jelas oleh Darwin. Untuk berpendapat sebaliknya
adalah pandangan takhayyul yang ketinggalan zaman.48
DARWINISME:
SUMBER KEKEJAMAN KOMUNIS
A bad yang baru saja
kita tinggalkan dipenuhi dengan berbagai tindak kekerasan dan kebiadaban. Tidak
diragukan lagi, ideologi pembawa bencana terbesar bagi umat manusia di abad
tersebut adalah Komunisme, paham yang paling tersebar luas di seluruh dunia.
Komunisme, yang mencapai puncak sejarahnya melalui dua tokoh filsuf Jerman,
Karl Mark dan Friedrich Engels pada abad ke-19, telah begitu banyak menumpahkan
darah di berbagai belahan bumi, melebihi apa yang dilakukan oleh kaum Nazi dan
para penjajah. Paham ini telah merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa,
memunculkan gelombang kekerasan, dan menebarkan rasa ketakutan serta putus asa
di kalangan umat manusia. Bahkan kini, ketika orang menyebut-nyebut negara
Tirai Besi dan Rusia, segera muncul gambaran tentang masyarakat yang
terselimuti kegelapan, kabut, rasa putus asa, beragam persoalan, dan ketakutan;
serta jalanan yang tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Tidak menjadi soal,
seberapa dahsyat Komunisme dianggap telah hancur di tahun 1991, puing-puing yang
ditinggalkannya masih tetap ada. Tak peduli, meskipun orang-orang Komunis dan
Marxis yang “tak pernah jera” tersebut telah menjadi “liberal”, filsafat
materialis, yang merupakan sisi gelap Komunisme dan Maxisme, dan yang
memalingkan manusia dari agama dan nilai-nilai akhlak, masih tetap berpengaruh
pada mereka.
Ideologi yang menebarkan ketakutan
ke seluruh penjuru dunia ini sebenarnya mewakili pemikiran yang telah ada sejak
zaman dahulu kala. Dialektika meyakini bahwa seluruh perkembangan di jagat raya
terjadi akibat adanya konflik. Berdasarkan kepercayaan ini, Marx dan Engels
melakukan pengkajian terhadap sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah
manusia adalah berupa konflik, dan konflik yang ada sekarang adalah antara kaum
buruh dan kaum kapitalis. Para buruh ini akan segera bangkit dan memunculkan
revolusi Komunis.
Sebagaimana orang-orang materialis,
kedua pendiri komunisme ini memendam kebencian yang mendalam terhadap agama.
Marx dan Engels, keduanya adalah atheis tulen yang memandang perlunya menghapuskan
keyakinan terhadap agama dilihat dari sudut pandang Komunisme.
Tetapi, ada satu hal yang belum dimiliki Marx dan
Engels: agar dapat menarik pengikut di kalangan masyarakat secara lebih luas,
mereka perlu membungkus ideologi mereka dengan penampakan ilmiah. Inilah awal
dari terbentuknya ideologi gabungan berbahaya yang kemudian memunculkan
penderitaan, kekacauan, pembunuhan masal, pertikaian sesama saudara, dan
perpecahan di abad ke-20. Darwin mengemukakan teorinya tentang evolusi dalam
bukunya The
Origin of Species. Dan sungguh menarik bahwa
pernyataan utama yang ia kemukakan adalah penjelasan yang sedang dicari-cari
oleh Marx dan Engels. Darwin menyatakan bahwa makhluk hidup muncul menjadi ada
sebagai hasil dari “perjuangan untuk mempertahankan hidup” atau “konflik
dialektika”. Lebih dari itu, ia mengingkari penciptaan dan menolak keyakinan
terhadap agama. Bagi Marx dan Engels hal ini merupakan kesempatan yang tidak
boleh disia-siakan.
Kekaguman Marx
dan Engels terhadap Darwin
Sedemikian pentingnya Darwinisme bagi komunisme
sehingga hanya beberapa bulan setelah buku Darwin terbit, Engels menulis kepada
Marx, “Darwin,
yang (bukunya) kini sedang saya baca, sungguh mengagumkan.”78
Marx menjawab tulisan Engels pada
tanggal 19 Desember 1860, dengan mengatakan, “Ini adalah buku yang berisi dasar berpijak pada sejarah alam bagi
pandangan kita.”79
Kekaguman
Pengikut Marx dan Engels terhadap Darwin
Para pengikut Marx dan Engels, yang bertanggung
jawab atas kematian jutaan orang dan ratusan juta lainnya yang hidup dalam
penderitaan, ketakutan, dan kekerasan, menyambut hangat teori evolusi dengan
penuh kegembiraan.
John N. Moore berbicara mengenai
kaitan antara evolusi dan para pemimpin Uni Soviet yang menerapkan gagasan Marx
dan Engels di Rusia:
Pemikiran para pemimpin Uni Soviet berakar kuat pada
cara pandang evolusi.88
Adalah Lenin yang menjadikan proyek
revolusi Komunis Marx sebagai kenyataan. Lenin, pemimpin pergerakan Bolshevik
Komunis di Rusia, bertujuan menjatuhkan rezim Tsar di Rusia dengan kekuatan bersenjata.
Kekacauan pasca Perang Dunia I memberi kesempatan yang selama ini
dinanti-nantikan kaum Bolshevik. Di bawah pimpinan Lenin, kaum Komunis merebut
kekuasaan melalui perjuangan bersenjata dalam bulan Oktober 1917. Menyusul
revolusi ini, Rusia menjadi ajang perang sipil berdarah selama 3 tahun antara
pihak Komunis melawan para pendukung Tsar.
Seperti para pemimpin Komunis
lainnya, Lenin seringkali menegaskan bahwa teori Darwin merupakan landasan
berpijak yang sangat penting bagi filsafat materialis dialektika.
Salah satu pernyataannya mengungkap
pandangannya tentang Darwinisme:
Darwin mengakhiri keyakinan bahwa spesies binatang
dan tumbuhan tidak berkaitan satu sama lain, kecuali secara kebetulan, dan
bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya tidak mengalami perubahan.89
Trotsky, yang dianggap tokoh paling
penting dalam revolusi Bolshevik setelah Lenin, kembali menekankan pentingnya
Darwinisme. Ia menyatakan kekagumannya atas Darwin sebagaimana berikut:
Penemuan Darwin adalah kemenangan terbesar
dialektika di segala bidang kehidupan.90
Menyusul kematian Lenin di tahun
1924, Stalin, yang dikenal luas sebagai diktator paling berdarah sepanjang
sejarah dunia, menggantikannya menduduki jabatan pemimpin Partai Komunis.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya, apa yang dilakukan Stalin hanyalah
pembuktian atas kekejaman sistem Komunisme.
Kebijakan penting Stalin yang
pertama adalah mengambil alih lahan-lahan milik petani yang berjumlah 80% dari
keseluruhan penduduk Rusia atas nama negara. Atas nama kebijakan
pengambilalihan dan pengumpulan tanah ini, yang ditujukan untuk menghilangkan
kepemilikan pribadi, semua hasil panen para petani Rusia dikumpulkan oleh
aparat bersenjata. Akibat yang ditimbulkan adalah bencana kelaparan yang
mengenaskan. Jutaan wanita, anak-anak dan orang tua yang tidak mampu
mendapatkan apapun untuk dimakan, terpaksa menggeliat kelaparan hingga
meninggal. Korban meninggal di Kaukasus saja mencapai 1 juta jiwa.
Stalin mengirim ratusan ribu orang
yang mencoba melawan kebijakan ini ke kamp-kamp kerja paksa Siberia yang
mengerikan. Kamp-kamp ini, di mana para tahanan dipekerjakan hingga mati,
menjadi kuburan bagi kebanyakan mereka. Selain itu, puluhan ribu orang dibunuh
oleh polisi rahasia Stalin. Jutaan orang dipaksa mengungsi ke daerah-daerah
terpencil di Rusia, termasuk warga Krimea dan Turki Turkestan.
Sang
Darwinis Mao Tse Tung dan
Pembantaian
yang Dilakukannya
Pemimpin Komunis Cina, Mao, memiliki dua orang
panutan: Darwin dan Stalin. Kedua nama ini, yang menyatu dalam kepribadian Mao,
telah menyebabkan bencana besar dan meninggalkan jejak mereka pada masa
kegelapan yang cukup lama dalam sejarah Cina. Sekitar 6 hingga10 juta orang
dibunuh secara langsung di bawah arahan Mao Tse Tung. Puluhan juta para
penentang revolusi menghabiskan sebagian besar masa hidup mereka di penjara, di
mana 20 juta di antaranya meninggal. Antara 20 dan 40 juta orang meninggal
karena kelaparan pada tahun 1959-1961, dalam masa yang dinamakan “Lompatan
Besar ke Depan,” akibat kebijakan kejam Mao. Pembantaian di lapangan Tianamen
pada bulan Juni 1989 (yang menewaskan sekitar 1.000 orang) memberikan satu
gambaran tentang apa yang dialami Cina dalam sejarah masa kininya. Pembunuhan
dan pembersihan etnis terhadap penduduk Turki Mus lim
di Turkistan Timur masih terus berlangsung.
Kebiadaban dahsyat dan hal-hal yang
suilt dipercaya terjadi ketika revolusi Komunis berlangsung di Cina. Rakyatnya,
yang berada dalam pengaruh hipnotisme massal, mendukung segala jenis
pembantaian dan menunjukkan dukungan mereka dengan berteriak-teriak saat
menyaksikan pembunuhan. Buku Le Livre
Noir du Communisme (Buku Hitam
Komunisme), yang disusun oleh sekelompok sejarawan dan pengajar,
menjelaskan tindakan biadab Komunisme sebagai berikut:
Seluruh warga diundang untuk menghadiri pengadilan
terbuka terhadap “orang-orang yang menentang revolusi,” yang hampir dipastikan
akan dihukum mati. Setiap orang turut serta menghadiri hukuman mati tersebut,
dan berteriak “bunuh, bunuh” kepada Pasukan Penjaga Merah yang tugasnya
memotong-motong tubuh korban. Kadang potongan-potongan ini dimasak dan dimakan,
atau secara paksa diberikan untuk dimakan oleh anggota keluarga korban yang
masih hidup dan yang menyaksikan peristiwa tersebut. Setiap orang kemudian
diundang dalam sebuah perjamuan, di mana hati dan jantung dari para bekas
pemilik tanah dimakan secara bersama-sama, dan ke pertemuan di mana para
pembicaranya akan beridato di hadapan barisan potongan kepala yang masih
tertancap segar di atas tiang-tiang. Kesenangan pada kanibalisme kejam ini,
yang di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim di bawah rezim Pol Pot, seolah
menghidupkan kembali sosok pemimpin dari Asia Tenggara yang hidup di masa silam
yang seringkali muncul di saat-saat terjadinya malapetaka dalam sejarah Cina.115
Kesimpulan:
Komunisme adalah Kebiadaban
akibat
Berpaling dari Agama
Siapapun yang mencermati pembantaian, pembunuhan,
dan penderitaan yang sengaja ditimpakan terhadap manusia oleh orang-orang
Komunis, Nazi, atau Kolonialis, akan bertanya-tanya bagaimana para pendukung
berbagai paham ini dapat menjauhkan diri mereka sendiri dari sifat-sifat yang
umumnya ada dalam diri manusia. Alasan satu-satunya dari kebiadaban dan
penindasan yang dilakukan oleh para pemimpin ini adalah hilangnya agama dalam
diri mereka dan ketiadaan rasa takut kepada Tuhan. Manusia yang takut kepada
Tuhan dan memiliki keimanan yang mantap kepada hari akhir, sudah pasti tidak
akan mampu melakukan segala bentuk penindasan, kejahatan, ketidakadilan, dan
pembunuhan sebagaimana yang telah kami paparkan. Selain itu, betapapun ia
dipengaruhi, seseorang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir tidak akan
pernah terseret untuk mengikuti ideologi yang sedemikian menyesatkan.
Namun orang yang tidak beragama dan
tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan tidak mengenal batas apapun. Seseorang
yang meyakini bahwa ia dan makhluk hidup lainnya berevolusi secara kebetulan
dari materi tak hidup, yang percaya bahwa nenek moyangnya adalah binatang, dan
yang menerima bahwa tiada sesuatu pun selain materi, dapat dengan mudah
dipengaruhi untuk melakukan segala bentuk kekejaman. Pada pandangan pertama,
orang-orang ini mungkin tampak tidak akan menyakiti siapapun. Namun, pada
keadaan tertentu mereka dapat berubah menjadi seorang jagal yang melakukan
pembantaian. Mereka mampu menjelma menjadi sosok pembunuh yang memukul atau
menjadikan orang-orang kelaparan hanya karena tidak mau mengikuti paham mereka.
Mereka dapat berubah menjadi orang-orang yang dipenuhi rasa kebencian, muak,
dan permusuhan. Ini dikarenakan cara pandang mereka terhadap dunia mengharuskan
hal yang demikian ini terjadi.
Pada tahun 1983, Alexander I.
Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur,
memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak
sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:
Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya
masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua
memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa
semua ini terjadi.”
Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun
untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah
membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah
menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing
reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya
diminta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang
menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak
mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah
mengapa semua ini terjadi.”118
Kesimpulan Solzhenitsyn di atas
benar-benar sungguh tepat. Sungguh, satu-satunya hal yang mampu menenggelamkan
masyarakat ke jurang kebiadaban sedalam itu, yang menjadikan mereka berpaling
dari berbagai bentuk penindasan dan tidak mau berbuat apa-apa, adalah
berpalingnya mereka dari Tuhan. Sementara Tuhan tidak pernah lupa dan tidak
pernah berbuat salah. Para pemimpin Komunis yang bengis tersebut menyangka
bahwa mereka telah membangun sistem mereka sendiri untuk mengatur masyarakat
dunia. Mereka beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan yang
luar biasa. Mereka bahkan mengadakan berbagai pertemuan rahasia, di mana meraka
berbisik satu sama lain tentang kebiadaban berikutnya yang akan mereka lakukan
terhadap rakyat guna memperbesar kekuasaan dan kekuatan mereka. Namun ketika
mereka melakukan semua ini, Tuhan mengetahuinya, dan Dia akan memberikan
balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat. Dia menyatakan hal ini dalam
Alquran:
Pada
hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan.Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan
itu, padahal mereka telah melupakannya.Dan Allah Maha Menyaksikan segala
sesuatu. Tidakkan kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.Dan tiada (pembicaraan antara) lima
orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara
(jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama
mereka di manapun mereka berada.Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka
pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Mujaadilah, 58:6-7)
Kemudian terdapat golongan
orang-orang yang mengikuti para pemimpin kejam ini, yang menjilat dibelakang
mereka. Keadaan mereka ini dinyatakan dalam Alquran dalam ayat
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia
sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka
sendiri. (QS.Yuunus, 10:44).
Dengan kata lain, orang-orang ini
menzalimi dirinya sendiri dengan melalaikan ajaran Allah dan mengikuti
pemimpin-pemimpin Darwinis. Di ayat Alquran lainnya dinyatakan bahwa manusia sendirilah yang sebenarnya
memunculkan bencana kejahatan dan kerusakan yang terjadi di dunia:
Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum,
30:41)
Satu-satunya cara guna mencegah
bencana ini agar tidak terulang lagi adalah agar manusia menjalani hidup dengan
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan tanpa melupakan bahwa mereka akan
mempertanggungjawabkan segala yang telah mereka perbuat. Dan agar manusia hidup
di bawah cahaya Alquran, yang Allah turunkan untuk seluruh manusia agar mereka
menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia seperti cinta, kasih sayang,
kedermawanan, dan kesetiaan, sebagaimana diperintahkan dalam Alquran.
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl, 16:97)
KAPITALISME DAN PERJUANGAN UNTUK
MEMPERTAHANKAN HIDUP DI
BIDANG EKONOMI
İ stilah kapitalisme berarti
kedaulatan kapital atau modal, yakni sistem ekonomi bebas tanpa batas yang
didasarkan secara penuh pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing atau
berkompetisi dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme:
individualisme, persaingan (kompetisi) dan perolehan keuntungan. Individualisme
penting dalam kapitalisme sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukan
sebagai bagian dari masyarakat, tetapi sebagai “individu-individu” yang berdiri
sendiri di atas kedua kakinya dan harus memenuhi kebutuhan pribadi dengan kerja
kerasnya sendiri. “Masyarakat kapitalis” adalah arena dimana para individu
bersaing satu sama lain dalam lingkungan yang keras dan tanpa belas kasih. Ini
adalah arena yang persis sebagaimana penjelasan Darwin, yang menempatkan hanya
yang kuat yang tetap hidup, sedangkan kaum lemah dan tak berdaya akan
terinjak-injak dan tersingkirkan; ini juga tempat di mana kompetisi sengit
merajalela.
Menurut pola pikir yang dijadikan
dasar berpijak kapitalisme, setiap individu – dan ini dapat berupa perorangan,
sebuah perusahaan atau suatu bangsa – harus berjuang demi kemajuan dan
kepentingannya sendiri. Hal terpenting dalam peperangan ini adalah produksi.
Produsen terbaik akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah dan tidak cakap akan
tersingkir dan lenyap. Beginilah sosok sistem kapitalisme, yang telah melupakan
kenyataan bahwa yang tersingkirkan dalam peperangan sengit ini, yang
terinjak-injak dan jatuh miskin adalah “manusia”. Yang menjadi pusat perhatian
kapitalisme bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang,
yakni hasil dari pertumbuhan ekonomi ini. Karena alasan tersebut, pola pikir
kapitalis tidak lagi merasakan tanggung jawab etis atau memiliki hati nurani
terhadap orang-orang yang terinjak di bawah kakinya, yang harus mengalami
berbagai kesulitan hidup. Ini adalah Darwinisme yang diterapkan secara
menyeluruh pada masyarakat di bidang ekonomi
Dengan menyatakan perlunya
mendorong kompetisi di berbagai bidang kehidupan, dan memaklumkan tidak
perlunya menyediakan kesempatan atau bantuan bagi golongan masyarakat lemah
dalam hal apapun, baik di bidang kesehatan hingga ekonomi, para perumus
Darwinisme Sosial terkemuka telah memberikan dukungan “filosofis” dan “ilmiah”
bagi kapitalisme. Misalnya, menurut Tille, sosok terkemuka yang mewakili
mentalitas kapitalis-Darwinis, adalah kesalahan besar untuk mencegah kemiskinan
dengan cara membantu “kelompok-kelompok yang tersingkirkan”, sebab ini berarti
turut mencampuri seleksi alam yang mendorong terjadinya evolusi.119
Dalam pandangan Herbert Spencer,
perumus utama teori Darwiniwme Sosial, yang memasukkan ajaran pokok Darwinisme
ke dalam kehidupan masyarakat, jika seseorang miskin maka ini adalah
kesalahannya sendiri; orang lain tidak sepatutnya menolong agar ia bangkit.
Jika seseorang kaya, bahkan jika ia mendapatkan kekayaannya melalui cara yang
tidak bermoral, maka ini adalah berkat kecakapannya. Oleh karena itu, orang
kaya akan bertahan hidup, sedangkan yang miskin akan lenyap. Ini adalah pemandangan
yang telah berlaku hampir secara menyeluruh pada masyarakat sekarang dan
gambaran ringkas tentang moralitas kapitalis-Darwinis.
Spencer, yang mendukung moralitas
ini, menyelesaikan karyanya Social
Statistics pada tahun 1850, dan menolak segala bentuk bantuan bagi
masyarakat yang diusulkan oleh negara, seperti program pencegahan untuk
melindungi kesehatan, sekolah-sekolah negeri, dan vaksinasi wajib. Sebab
menurut Darwinisme Sosial, tatanan kemasyarakatan terbangun berdasarkan
keberlangsungan hidup bagi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat lemah yang
menjadikan mereka mampu bertahan hidup adalah pelanggaran terhadap asas ini. Si
kaya adalah kaya karena mereka lebih layak hidup; sebagian bangsa menjajah
sebagian yang lain dikarenakan pihak penjajah lebih unggul dari pihak terjajah,
manusia dengan ras-ras tertentu menjadi bawahan dari ras-ras lain karena
tingkat kecerdasannya yang lebih tinggi. Spencer menerapkan doktrin ini dengan
sungguh-sungguh pada masyarakat manusia, “Jika mereka benar-benar layak untuk
hidup, mereka akan hidup, dan memang sebaiknya mereka harus hidup. Jika mereka
benar-benar tidak layak untuk hidup, mereka akan mati, dan adalah yang terbaik
jika mereka harus mati”120
Graham Sumner, Professor Ilmu
Politik dan Sosial di Universitas Yale, adalah juru bicara Darwinisme Sosial di
Amerika. Dalam salah satu tulisannya, ia merangkum pandangannya tentang
masyarakat manusia sebagai berikut:
...jika kita mengangkat seseorang ke atas kita harus
memiliki tumpuan, yakni titik reaksi. Dalam
masyarakat ini berarti bahwa untuk mengangkat seseorang ke atas maka kita harus
mendorong seseorang yang lain ke bawah.121
Richard Milner, editor senior pada
Majalah Natural History terbitan American Museum of Natural History, New York,
menulis:
Salah satu juru bicara terkemuka Darwinisme Sosial,
William Graham Sumner dari Princeton, berpandangan bahwa kaum jutawan adalah
individu-individu ‘paling cakap’ dalam masyarakat dan berhak mendapatkan
perlakuan istimewa. Mereka “secara alamiah telah terseleksi di arena kompetisi”122
Sebagaimana telah kita ketahui dari
pernyataan ini, para pendukung Darwinisme Sosial menggunakan teori evolusi
Darwin sebagai pernyataan “ilmiah” bagi masyarakat kapitalis. Akibat dari hal
ini, masyarakat telah kehilangan akhlak mulia yang diajarkan agama seperti
saling membantu, kedermawanan, dan kerjasama. Sebaliknya, ajaran ini telah
tergantikan oleh sifat mementingkan diri sendiri, kikir dan oportunisme.
Menurut salah seorang perumus teori Darwinisme Sosial terkemuka, Profesor E.A.
Ross asal Amerika, “Bantuan kemanusiaan yang dikelola kaum Kristiani sebagai
sarana amal kebajikan telah memunculkan tempat berlindung di mana orang-orang
dungu tumbuh dan berkembang biak.” Lagi menurut Ross, “Negara mengumpulkan
orang bisu dan tuli di tempat-tempat penampungannya, dan ras manusia bisu dan
tuli sedang dalam proses pembentukan.” Ross menolak semua ini karena dianggap
mencegah kemajuan proses evolusi di alam dan berkata, “Jalan paling pintas
untuk menjadikan dunia ini surga adalah dengan membiarkan mereka yang
tergesa-gesa cenderung ingin ke neraka berjalan dalam langkah mereka sendiri.”123
Sebagaimana telah kita pahami,
Darwinisme telah membangun dasar filosofis bagi semua sistem ekonomi kapitalis
di dunia dan sistem politik yang terwarnai oleh sistem ekonomi ini.
Inilah alasan mengapa para
pendukung utama Darwinisme Sosial adalah para pemilik modal. Kemenangan pihak
kuat dengan menginjak-injak golongan lemah dan penerapan kebijakan ekonomi yang
sangat jauh dari rasa kasih sayang, saling membantu dan mencintai tidak lagi
menjadi perbuatan yang terkutuk. Sebab perilaku seperti ini dianggap sejalan
dengan “penjelasan ilmiah” dan “hukum alam”.
Menurut Richard Hofstadter, penulis
buku Social Darwinism in American Thought,
yang juga seorang pengusaha besar kereta api di abad ke-19 Chauncey Depew
mengatakan bahwa kalangan yang meraih ketenaran, keberuntungan dan kekuasaan di
kota New York mewakili prinsip kelangsungan hidup bagi yang terkuat, melalui
keahlian unggul mereka, kemampuan berpikir ke depan dan kemampuan beradaptasi.”124 Raja perkeretaapian yang lain, James J. Hill,
mengatakan bahwa “keberuntungan perusahaan-perusahaan kereta api ditentukan
oleh hukum kelangsungan hidup bagi yang terkuat”125
Dalam biografinya, Andrew Carnegie,
pemilik modal terkemuka lainnya di Amerika, menyatakan keyakinannya terhadap
evolusi dengan mengatakan, “Saya telah menemukan kebenaran evolusi.”126 Di bagian lain ia menuliskan perkataan berikut
ini:
(Hukum
kompetisi) itu berlaku di sini; kita tidak dapat menghindarinya; teori
yang dapat menggantikannya belum ditemukan; dan kendatipun hukum ini mungkin
terkadang terasa berat bagi individu, namun ini yang terbaik bagi ras, sebab
hal ini menjamin kelangsungan hidup bagi
yang paling kuat di segala bidang (kehidupan). 127
Dalam artikelnya Darwin’s Three Mistakes, ilmuwan
evolusionis Kenneth J. Hsü, mengungkap pemikiran Darwinis kaum kapitalis
Amerika terkemuka:
Darwinisme juga dijadikan pembenaran bagi
individualisme kompetitif dan dampak alamiahnya di bidang ekonomi berupa
kapitalisme bebas di Inggris dan di Amerika. Andrew Carnegie menulis bahwa
“hukum kompetisi, secara sehat ataupun tidak, berlangsung dalam kehidupan ini;
dan kita tidak dapat menghindarkannya”. Rockefeller melangkah lebih jauh ketika
menyatakan bahwa “pertumbuhan bisnis besar hanyalah keberlangsungan hidup bagi
yang terkuat; ini sekedar cara kerja hukum alam.”128
Sungguh sangat menarik, di Amerika,
lembaga-lembaga seperti Rockefeller Foundation dan the Carnegie Institution,
yang didanai oleh kerajaan kapitalis seperti Rockefeller dan Carnegie,
memberikan bantuan dana cukup besar untuk penelitian di bidang evolusi.
Sebagaimana telah dipahami dari
uraian di atas, kapitalisme telah menyeret manusia untuk menyembah hanya uang
dan kekuatan yang bersumber dari uang. Dengan sama sekali tidak mengindahkan
nilai agama dan etika, masyarakat yang terpengaruh pemikiran evolusi akan lebih
mengutamakan materi, dan menjadi semakin jauh dari perasaan seperti cinta,
kasih sayang dan pengorbanan.
Akhlak kapitalis ini telah
merajalela hampir di seluruh lapisan masyarakat sekarang. Akibatnya, kaum
miskin, lemah dan tak berdaya tidak mendapatkan bantuan, perhatian ataupun
perlindungan. Bahkan jika mereka menderita penyakit parah dan mematikan, mereka
tidak mampu mendapatkan seseorang yang bersedia membantu mengobati mereka. Kaum
papa terlantar begitu saja hingga sakit dan meninggal. Di banyak negara,
seringkali dijumpai ketidakadilan dan perilaku tidak manusiawi seperti
anak-anak di bawah umur yang dipaksa bekerja dan diterlantarkan tanpa mendapatkan
hak mereka secara wajar.
Kini, alasan mengapa negara-negara
seperti Etiopia menderita bencana kekeringan dan kelaparan adalah merajalelanya
moral kapitalis ini. Kendatipun bantuan dan dukungan dari banyak negara
sebenarnya mampu menyelamatkan penduduk yang kelaparan ini, mereka tetap saja
dibiarkan kelaparan dan miskin begitu saja.
Ciri masyarakat kapitalis lainnya
adalah tersebarnya kekayaan dengan tidak adil dan merata. Dalam masyarakat
seperti ini, perbedaan antara si kaya dan si miskin semakin hari semakin
melebar. Ketika si miskin semakin miskin, harta kekayaan si kaya semakin
bertambah. Munculnya jutaan tuna wisma yang hidup terlantar dan sangat
memprihatinkan, bahkan di Amerika yang merupakan negara paling maju di dunia,
merupakan akibat dari moralitas kapitalis. Sudah pasti masyarakat Amerika cukup
kaya untuk memberi bantuan dan perlindungan kepada semua orang ini, termasuk
memberi mereka pekerjaan. Tetapi karena mentalitas yang berlaku bukanlah
memberi kesempatan kaum miskin untuk bangkit, tapi untuk tumbuh berkembang
dengan menginjak si miskin, maka jalan keluar tidak diberikan bagi kaum miskin
ini. Inilah hasil penerapan ajaran Darwinisme Sosial yang menyatakan bahwa
“Untuk tumbuh berkembang, diperlukan suatu batu loncatan bagi seseorang untuk
berpijak”.
KEHANCURAN MORAL AKIBAT DARWINISME
T idak diragukan lagi, bencana
terbesar yang diakibatkan Darwinisme terhadap umat manusia adalah pemalingan
manusia dari agama. Kehancuran moral dan spiritual yang dasyat berlangsung
dengan cepat pada masyarakat yang jauh dari agama. Contoh seperti ini banyak
dijumpai dalam masyarakat sekarang.
Sejumlah orang berkata bahwa
Darwinisme tidak dapat dipersalahkan bagi jauhnya masyarakat dari agama. Sebab,
sebagian besar mereka yang tidak menjalankan agama belum pernah mendengar
tentang paham Darwinisme. Kalimat kedua dari pernyataan ini adalah benar
adanya. Saat ini, mereka yang mendukung Darwinisme dengan pemahaman yang baik
berjumlah sangat sedikit. Tapi perlu diingat, mereka yang sedikit inilah yang
mengarahkan dan mengendalikan pola pikir masyarakat di sebagian besar bidang
kehidupan. Pengaruh yang mereka bangun terhadap masyarakat mencapai jumlah yang
tak terhitung. Mereka mampu menancapkan pola pikir mereka pada sebagian besar
masyarakat. Misalnya, para profesor dari universitas terkenal, sebagian besar
direktur film ternama, dan para editor penerbitan, surat kabar dan majalah
terkenal di dunia, sebagian besarnya adalah para evolusionis, dan sudah barang
tentu atheis. Oleh sebab itu, bagian masyarakat yang menjadi garapan mereka
terpengaruh oleh media masa beserta pemikiran evolusi dan anti-agama mereka.
Hasilnya, muncullah masyarakat yang menerima gagasan menyimpang ini secara
luas.
Ernst Mayr, ahli biologi
Universitas Harvard yang juga seorang evolusionis terkemuka di dunia,
menjelaskan kedudukan teori evolusi dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut:
Sejak Darwin, setiap orang yang berpengetahuan
setuju bahwa manusia berasal dari kera... Evolusi berpengaruh pada setiap aspek
pemikiran manusia: filsafatnya, metafisiknya, etikanya...131
Pengaruh luas Darwinisme dalam
kehidupan masyarakat bekerja layaknya kekuatan “sihir”. Sebagian besar generasi
muda khususnya, dengan pengalaman hidup yang belum matang untuk membangun pola
pikir yang sangat sederhana sekalipun, mudah terpedaya oleh gagasan semacam
ini. Yang jauh lebih mudah lagi adalah mengarahkan mereka berpola pikir
sebagaimana yang diinginkan melalui majalah yang mereka baca, film, permainan
atau klip musik yang mereka tonton, dan, yang terpenting dari semua ini,
melalui pendidikan yang mereka terima di sekolah. Sebab, pengaruh inilah yang
menjadikan manusia mempercayai teori evolusi sebagai kebenaran selama 150
tahun, meskipun kebohongan dan ketidakilmiahannya telah terbukti.
Jika anda cermati, kini propaganda
anti agama jarang dilakukan secara terang-terangan. Tak seorangpun secara
terbuka mengajak orang lain untuk meninggalkan beragama. Namun, cara
tersembunyi untuk melakukan hal ini diterapkan, meski tidak nampak pada
awalnya. Penghinaan terhadap agama atau hal yang berhubungan dengannya,
terhadap para agamawan, penggunaan kata yang memiliki arti pengingkaran
terhadap Tuhan, takdir, dan agama dalam syair-syair lagu, novel, film, judul
utama surat kabar, dan lelucon, hanyalah sedikit contoh cara tersembunyi
tersebut.
Akan tetapi, pokok bahasan seputar
Darwinisme merupakan alat yang paling umum digunakan untuk propaganda anti
agama. Bahkan dalam pokok bahasan yang sangat tidak berkaitan, kebohongan bahwa
nenek moyang kita adalah kera tetap ditegaskan. Pernyataan tentang teori
evolusi bahkan tercantum secara tersirat dalam analisis psikologi manusia.
Akibatnya, muncullah masyarakat manusia yang tidak begitu menaruh perhatian
pada agama, kehidupan akhirat, dan tanggung jawab moral; yang tidak berpikir,
yang tidak takut kepada Tuhan, dan yang sungguh tidak beriman kepada-Nya meski
saat ditanya mereka menyatakan beriman kepada Tuhan dan agama. Manusia yang
tidak beriman dan takut kepada Allah tidak merasa dibatasi dan diatur dalam hal
apapun. Mereka hidup layaknya binatang yang mereka anggap sebagai nenek moyang
mereka.
Misalnya, seseorang yang tidak
berhati-hati dalam menjaga diri dan tidak takut kepada Allah, tidak dapat
diharapkan untuk menjaga kesucian dirinya karena ia merasa tidak ada batasan
yang harus dipatuhinya. Ia tergiur untuk melakukan berbagai tindakan tak
bermoral selama dapat melakukannya di luar sepengetahuan manusia. Sebagaimana
yang kini terjadi, terutama di kalangan tertentu dan kaum muda, batasan yang
semakin lama semakin longgar, semakin tidak dihiraukannya nilai moral dan
larangan Tuhan, dan berpalingnya masyarakat dari agama akibat gagasan
Darwinisme, adalah salah satu akibat dari semua ini. Manusia yang memandang
diri mereka sama sekali tak terikat oleh aturan dan tidak akan bertanggung jawab
kepada siapapun, akan berperilaku melampaui batas dari hari ke hari. Kaum
muda-mudi berani mengisahkan kepada surat kabar tentang kehidupan sex mereka
hingga bagian-bagiannya yang terkecil. Surat kabar pun memuatnya sementara para
pembaca tidak berkeberatan membacanya. Media masa memuji dan membahas
perzinahan dengan penuh semangat, bahkan menganjurkan agar setiap orang
melakukannya. Begitulah, zina telah menjadi perbuatan yang tidak lagi dipandang
tidak wajar. Jika dicermati dengan seksama, di balik pembunuhan, perzinahan,
kecurangan, penipuan, memberi dan menerima suap, dan kebohongan; singkatnya,
yang menjadi biang segala perbuatan bejat ini adalah jauhnya masyarakat dari
ajaran agama. Cara paling ampuh untuk menciptakan keadaan ini secara luas adalah
pengaruh kuat kebohongan Darwinisme yang menyatakan bahwa “manusia muncul
menjadi ada akibat peristiwa kebetulan belaka “
Ken Ham, penulis buku The Lie: Evolusion, membahas
berkurangnya keyakinan terhadap agama akibat pengaruh Darwinisme sebagai sebuah
pokok bahasan dan mengatakan:
Jika Anda mengingkari Tuhan dan mengganti-Nya dengan
keyakinan lain yang menempatkan kebetulan, proses yang berlangsung secara acak
sebagai ganti Tuhan, maka tidak ada patokan yang menentukan mana yang benar dan
mana yang salah. Peraturan tergantung bagaimana kita ingin membuatnya. Tidak
ada sesuatu yang mutlak – tidak ada patokan-patokan yang wajib dipatuhi.
Manusia akan membuat peraturan mereka sendiri.132
Evolusionist terkenal Theodious
Dobzhansky menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa gagasan “seleksi alam”,
yang menjadi landasan bagi Darwinisme, telah menyebabkan munculnya masyarakat
yang berakhlak buruk:
Seleksi alam cenderung dapat memunculkan sikap
mementingkan diri sendiri, hedonisme, ketakutan sebagai ganti keberanian,
kecurangan dan pemerasan. Sebaliknya, etika kebersamaan yang pada dasarnya ada
di seluruh masyarakat cenderung menentang atau melarang perilaku ‘alami’
seperti itu, dan memuji kebalikannya: kebajikan, kedermawanan, dan bahkan
pengorbanan diri demi kemaslahatan untuk sesama, untuk suku atau untuk bangsa
dan bahkan untuk seluruh umat manusia.133
Jika kita amati sekeliling kita
saat ini, kita akan segera menyadari jejak-jejak kehancuran paling parah yang
diakibatkan oleh moralitas Darwinisme. Gagasan bahwa kemajuan, pembangunan, dan
peradaban dihasilkan oleh manusia yang hidup terpisah satu dari yang lain dan
tanpa ikatan untuk saling memberikan pertolongan, kesetiaan, penghormatan, dan
belas kasih, telah dipaksakan kepada masyarakat. Pernyataan bahwa keadaan ini
hendaknya diterima demi kemajuan dan tingkat produksi yang lebih besar
seringkali dikemukakan. Padahal, ini merupakan akibat ulah manusia sendiri yang
menempatkan diri mereka pada “status binatang”, dan tidak dapat dikatakan
sebagai kemajuan ataupun peradaban.
Sungguh, manusia bukanlah spesies
binatang dan ia tidak muncul menjadi ada sebagai keturunan dari binatang
manapun. Manusia, yang Allah ciptakan dengan kelengkapan akal, kecerdasan, hati
nurani, dan ruh, adalah makhluk yang sama sekali berbeda dengan makhluk lain
dikarenakan berbagai beragam keistimewaannya ini. Namun, akibat pengaruh sihir
Darwinisme-materialisme, manusia melupakan keistimewaan tersebut dan tenggelam
dalam kepicikan, akhlak buruk, dan hati nurani serta nalar yang tidak berfungsi,
yang bahkan tidak dijumpai pada binatang. Kemudian mereka berkata, “Kita pun
keturunan binatang, sehingga masih terdapat warisan genetis dari mereka,” dan
membuat dalih ilmiah untuk menutupi kemalasan dan kebebalan mereka.
Banyak ilmuwan yang mendalami masalah
perilaku manusia, yang juga pengikut Darwinisme, menjadikan alur berpikir ini
sebagai dasar berpijak, dan menyatakan bahwa kecenderungan manusia kepada
tindak kejahatan merupakan warisan perilaku nenek moyang binatangnya. Dalam
bukunya Ever Since Darwin,
evolusionis terkemuka Stephen Jay Gould mengemukakan pernyataan, yang awalnya
dikemukakan oleh fisikawan Italia Lombroso:
Teori-teori biologi tentang kriminalitas bukanlah
barang baru, tapi Lombroso memberikan penjelasan baru yang berkaitan dengan evolusi.
Terlahir sebagai penjahat bukan berarti menderita kegilaan atau berpenyakit;
mereka, secara harfiah, terlempar kembali ke tangga evolusi sebelumnya.
Sifat-sifat genetis nenek moyang kita yang primitif dan mirip kera masih
tersisa dalam perbendaharaan genetik kita. Sejumlah orang yang kurang beruntung
terlahir dengan sejumlah besar sifat-sifat nenek moyang ini, yang di luar
kewajaran. Perilaku mereka mungkin dapat diterima dalam masyarakat biadab masa
lalu; namun kini, kita menjulukinya sebagai tindakan kriminal. Kita mungkin
merasa kasihan terhadap mereka yang terlahir sebagai kriminal, dikarenakan
mereka tidak dapat menghindarinya; namun kita tidak dapat membiarkan tindakan
mereka begitu saja.134
Menurut anggapan para Darwinis,
dengan kata lain pembunuhan seseorang terhadap orang lain, penderitaan yang
ditimpakan kepadanya, pencurian, dan perkelahian, merupakan warisan yang secara
genetis diturunkan dari nenek moyangnya yang mirip kera. Berdasarkan
alasan tersebut, berbagai tindak kejahatan ini bukanlah berasal dari dalam diri
orang tersebut dan, karenanya, dipandang sebagai suatu yang dapat dimaklumi.
Sebagaimana dapat dipahami dari
pernyataan-pernyataan ini, pola pikir Darwinis memandang nurani manusia dan
kemampuannya untuk berkehendak, bernalar dan menilai sesuatu sebagai hal yang
tidak bermakna, dan meyakini manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki
kecerdasan, yang berperilaku menuruti instingnya, persis sebagaimana binatang.
Menurut pandangan ini, layaknya singa liar yang tidak mampu menahan perilaku
agresif dalam dirinya dan tidak dapat memperlihatkan perilaku arif seperti
menahan amarah, atau memberi maaf dan bersabar, maka manusia pun berperilaku
sama. Sudah pasti, ketiadaan rasa damai dan aman, kekacauan, pertikaian, dan
perkelahian akan terjadi dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat manusia
semacam ini.
Kesengsaraan dan
Keputus-asaan Akibat Darwinisme
Menurut kaum Darwinis dan materialis, keseluruhan
alam raya, termasuk manusia, terbentuk sebagai hasil peristiwa acak dan
kebetulan. Berkembangnya pengaruh pandangan ini dalam masyarakat memunculkan
sosok-sosok manusia tak bertanggung jawab yang sama sekali merasa tidak terikat
oleh aturan apapun.
Seseorang yang tidak memiliki
tujuan hidup tidak akan berpikir, tidak mampu memberikan arahan bagi
pengembangan diri mereka sendiri, tidak memiliki kepedulian, suka mencela,
tidak berperasaan, tidak memiliki kepekaan, tidak mampu menggunakan hati
nuraninya, dan tidak mengenal aturan atau batasan. Ia tidak memiliki sifat
mulia atau akhlak terpuji. Dalam pandangannya yang menyimpang, dirinya adalah
sosok hewan yang telah berkembang dan maju. Karenanya, dalam hidupnya di dunia
ini, ia harus mencari makan dan berkembang biak sebagaimana makhluk hidup
lainnya. Setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, ia hendaknya mencari hiburan dan
kesenangan sepuas-puasnya, dan menunggu hingga saat kematian tiba. Begitulah,
di sini kita pahami bahwa meskipun kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan
tentang seluk-beluk Darwinisme, mereka menjalani kehidupan sebagai umat manusia
sebagaimana yang dikemukakan oleh Darwin.
Karena mereka menjalani kehidupan
yang penuh dengan kekerasan, sebuah kehidupan yang suatu saat akan berakhir,
maka orang-orang ini mudah terbawa oleh perasaan yang sangat menekan dan rasa
keputusasaan. Keyakinan bahwa segalanya akan berakhir dengan kematian, dan
tidak ada sesuatu pun setelah kematian, menjadikan hidup mereka tidak bahagia.
Salah satu penyebab tindakan bunuh diri, gangguan jiwa, dan tekanan batin
adalah pengaruh buruk sihir Darwinisme dalam diri manusia.
Richard Dawkins, salah seorang
evolusionis terkemuka masa kini, mengungkap satu contoh kasus ini. Dawkins
menyatakan manusia sebagai mesin gen, dan satu-satunya tujuan keberadaan
manusia di dunia adalah untuk mewariskan gen ini ke generasi berikutnya. Dalam
pandangan Dawkins, tidak ada tujuan lain bagi keberadaan manusia atau alam
semesta. Seluruh jagat raya dan manusia terbentuk sebagai hasil peristiwa acak
dan kebetulan.
Mereka yang terpedaya untuk
meyakini pernyataan ini akan mudah merasa tertekan dan kehilangan harapan.
Manusia yang mempercayai tujuan hidup hanyalah untuk mewariskan gen, bahwa
segalanya berakhir dengan kematian dan tak satupun yang ia lakukan di dunia ini
memiliki makna, dan yang menganggap persahabatan, cinta kasih, kebajikan, dan
keindahan tidak memiliki arti, akan menganggap kehidupan ini begitu kejam dan
tidak berguna. Mereka tidak akan mampu mendapatkan kebahagiaan dari apapun yang
ada. Dalam kata pengantar bukunya Unweaving
the Rainbow, Dawkins mengakui pengaruh negatif dan perasaan putus asa yang
dialami oleh mereka yang telah membaca pernyataannya tentang tujuan hidup
manusia:
Sebuah penerbitan asing yang menerbitkan buku
pertama saya mengaku bahwa ia tidak
dapat tidur selama tiga malam setelah membacanya, ia merasa sangat
terganggu dengan apa yang ia anggap sebagai pesan yang dingin, dan mendorong
rasa putus asa dalam buku tersebut. Beberapa orang yang lain bertanya kepada
saya bagaimana saya masih sanggup bangun di pagi hari. Seorang guru dari sebuah
negeri yang jauh menulis kepada saya dengan nada menyalahkan bahwa seorang
murid datang kepadanya sambil menangis setelah membaca buku yang sama, karena
buku tersebut telah mendorongnya beranggapan bahwa hidup ini hampa dan tidak
memiliki tujuan. Ia menganjurkannya agar tidak memperlihatkan buku tersebut
kepada teman-temannya karena khawatir akan mengotori mereka dengan pemikiran pesimisme nihilistik yang sama. Tuduhan
serupa tentang kehampaan hidup, menyebarkan pesan yang gersang dan tidak
membahagiakan, seringkali terlontar dalam ilmu pengetahuan secara umum, dan
para ilmuwan mudah sekali menjadikan mereka terpengaruh. Rekan saya Peter
Atkins memulai bukunya The Second Law
(1984) dengan pernyataan serupa:
Kita adalah anak-anak yang hidup dalam dunia yang
tidak memiliki tujuan, dan segalanya mengalami perubahan yang mengarah ke
kerusakan. Pada dasarnya, yang ada
hanyalah kerusakan dan kekacauan. Semua tujuan telah sirna; segala yang
tertinggal hanyalah arah. Saat kita
menyelami lebih jauh di kedalaman alam semesta, kita akan mendapati ketiadaan
makna dan ini adalah sesuatu yang harus kita terima.135
Pendukung Darwinisme lainnya adalah
Nietzshe, seorang filsuf Jerman yang menyatakan kehidupan ini tidak bermakna
apapun, dan yang menjadikan orang-orang memandang hidup ini secara pesimis.
Tesisnya tentang keunggulan ras memberikan dukungan filosofis bagi Hitler.
Pemikiran yang ia kemukakan, yang dikenal sebagai “nihilisme” dan
“nothingisme”, pada intinya adalah: Manusia hendaknya memiliki tujuan untuk
hidup. Namun tujuan ini, menurut Nietzsche yang tidak mengakui keberadaan
Tuhan, tidak ada kaitannya dengan Tuhan yang telah menciptakan manusia.
Karenanya, dalam pemahaman Nietzsche, manusia terus-menerus mencari tujuan
hidup ini, akan tetapi tidak mampu menemukannya. Akibatnya, ia mengalami
pesimisme dan keputusasaan.
Yang benar sesungguhnya adalah
mencari tujuan di balik keberadaan atau penciptaan manusia. Namun, sebagaimana
yang dikemukakan Nietzsche, jika seseorang sama sekali tidak mau menerima
tujuan utama keberadaan dirinya, dan berusaha sendiri untuk mencari tujuan
selain yang ada dalam batasan kebenaran ini, maka ia pasti tak akan mampu
menemukannya. Dan perlu kami kemukakan di sini bahwa Nietzsche meninggal dalam
keadaan gila.
Masyarakat yang melupakan
penciptaan diri mereka oleh Tuhan, yang telah menciptakan untuk sebuah tujuan,
akan benar-benar mengalami kehancuran moral dan spiritual. Kekayaan,
kemakmuran, dan kemajuan ekonomi tidak akan memberikan kedamaian dan rasa aman
bagi orang-orang ini. Manusia yang tidak mau menuruti akal sehat dan suara hati
nuraninya, yang merasa tidak terikat oleh aturan apapun dan tidak memiliki
tujuan hidup, akan menderita kesedihan dan keputusasaan. Mereka yang
beranggapan bahwa kehidupan mereka di dunia akan berakhir dengan kematian, akan
mengalami kesedihan, kesengsaraan, dan keputusasaan saat mereka menjalani
kehidupan sesungguhnya setelah kematiannya.
Sebaliknya orang yang beriman
kepada Tuhan dan hari akhir memahami tujuan penting dari kehidupannya. Ia
selalu merasakan kebahagiaan dan berharap akan ampunan, kasih sayang Allah
beserta surga-Nya. Apapun yang terjadi, ia akan senantiasa bersyukur kepada
Tuhan. Karenanya, ia tidak pernah terpedaya untuk berprasangka buruk dan
berputus asa.
KESIMPULAN:
HARUSKAH DARWINISME DIBIARKAN
HIDUP?
S epanjang sejarah telah terjadi
peperangan, penindasan, pembunuhan dan pertikaian. Namun alasan mengapa jumlah
dan cakupan dari semua bencana yang terjadi di abad yang lalu ini begitu besar
adalah karena pembenaran ilmiah keliru yang diberikan Darwinisme terhadap
pembunuhan, penindasan dan pertikaian tersebut. Karena pernyataan Darwinisme
yang sama sekali keliru tentang alam sejalan dengan ideologi-ideologi ini, para
pembunuh, diktator, dan ideolog bengis mampu menjelaskan bahwa kebijakan yang
mereka terapkan adalah benar dengan mengatakan “hukum alam juga berlaku pada
msyarakat manusia.”
Di masa kini, teori evolusi masih
saja dipertahankan karena alasan filosofis dan ideologis. Kolonialisme yang
merebak dengan adanya teori evolusi di abad ke-19, Jerman Nazi, dan Uni Siviet
adalah potret masa lalu. Namun filsafat Darwinsime-materialisme, yang merupakan
pondasi utama mereka, masih dengan kuat dibela oleh kalangan tertentu, dan
dampak merusak dari filsafat ini masih terus dirasakan di seluruh dunia.
Walaupun sebagai seorang
evolusionis, Kenneth J. Hsü telah menulis tentang bencana yang diakibatkan
Darwinisme terhadap umat manusia sebagai berikut:
Kita adalah korban dari ideologi sosial yang kejam
yang menganggap persaingan antar individu, kelas, bangsa dan ras sebagai
kondisi alami kehidupan, dan juga merupakan sesuatu yang wajar (alami) jika
yang kuat menindas yang lemah... Hukum Seleksi alam, menurut pendapat saya,
bukanlah ilmu pengetahuan. Ini adalah sebuah ideologi, dan sebuah ideologi yang
jahat...136
Tentu saja tindakan pencegahan
secara hukum dan kekuatan bersenjata harus dilakukan. Namun tindakan ini hanya
dapat menutup luka akibat ideologi-ideologi ini. Pemecahan masalah yang
permanen adalah dengan gerakan budaya dan ilmiah. Keruntuhan Darwinisme melalui
budaya dan ilmu pengetahuan akan juga menghempaskan filsafat-filsafat yang
mendapatkan pengukuhan dari Dariwnisme , dan ini berarti menghapuskan
penindasan yang terjadi di dunia.
Dengan alasan ini, tanggung jawab
yang berat berada di pundak mereka yang memiliki hati nurani, keimanan, dan
pemahaman tentang nilai-nilai spiritual. Tidak pada tempatnya seseorang
mengabaikan atau menganggap ringan bencana yang ditimbulkan Darwinisme kepada
dunia, khususnya di abad yang lalu, serta penderitaan yang dialami orang-orang
waktu itu. Siapa pun yang memahami pentingnya masalah ini hendaknya melakukan
apa yang ia mampu untuk mengakhiri penipuan ini, yang telah berlangsung selama
150 tahun, melalui jalur kultural.
Satu-satunya yang dapat mengakhiri
kebohongan ini dalam arti yang sebenarnya, yang dapat memberikan jawaban tuntas
atas pertanyaan mendasar dalam hidup manusia, adalah ajaran Al Qur’an. Berbagai
bencana ini akan berakhir jika orang-orang mulai beralih ke agama yang benar.
Yakni ketika keindahan, cinta, kasih sayang, keadilan, kesetiaan, kebersamaan,
dan sikap saling menghargai yang diajarkan Al Qur’an kepada manusia dijalankan
dalam kehidupan. Sebagaimana ayat Allah yang menyatakan, “kebenaran akan datang
“ dan “kebatilan akan lenyap:”
Dan
katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya
yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (QS. Al Israa’, 17:81)
Daftar Pustaka
1. Robert Wright, The Moral Animal, Vintage Books, New
York: 1994, hal.7
2. Anton Pannekoek, Marxism and Darwinism, Translated by
Nathan Weiser, Chicago, Charles H. Kerr &Company, 1912,
http://csf.colorado.edu/psn/marx/Other/Pannekoek/Archive/1912-Darwin/
3. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the
Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
4. Francis Darwin, The Life and Letters of Charles
Darwin, D. Appleton and Co., 1896, vol. 2, hal.294
5. Stephen Jay Gould, The Mismeasure of Man, W.W. Norton
and Company, New York, 1981, hal. 72
6. Jacques Barzun, Darwin, Marx, Wagner, Garden City,
N.Y.: Doubleday, 1958, hal.94-95, cited in Henry M. Morris, The Long war
Against God, Baker Book House, 1989, hal. 70
7. A.E. Wilder-Smith, Man’s Origin Man’s Destiny, The
Word for Today Publishing, 1993, hal.166
8. Charles Darwin, The Descent of Man, 2nd edition, New
York, A L. Burt Co., 1874, hal. 178
9. Charles Darwin, The Descent of Man, 2nd edition, New
York, A L. Burt Co., 1874, hal. 171
10. Godfrey Lienhardt, Social Anthropology, Oxford
University Press, hal. 11
11. Benjamin Farrington, What Darwin Really Said,
London: Sphere Books, 1971, hal. 54-56
12. James Ferguson, “The Laboratory of Racism”, New
Scientist, vol. 103, (September 1984, hal. 18)
13. Lalita Prasad Vidyarthi, Racism, Science and
Pseudo-Science, Unesco, France, Vendôme, 1983. hal. 54
14. David N. Menton, Ph.D., The Religion of Nature:
Social Darwinism, St. Louis MetroVoice, September 1994, Vol. 4, No. 9
15. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton
& Company, New York 1992, hal. 217
16. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton
& Company, New York 1992, hal. 220
17. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea
of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 67-68
18. Thomas Gossett, Race: The History of an Idea in
America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal.81 cited in
Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea of Race and Racism),
Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 68
19. Jacques Attali, 1492, Librairie Arthème Fayard,
1991, hal.197
20. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed.
Presses Universitaires de France, 1988, hal. 40-41
21. James Joll, Europe Since 1870: An International
History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 102-103
22. Kenneth J. Hsü., reply to comment on “Darwin’s Three
Mistakes”, Geology, vol. 15, April 1987, hal. 377
23. Süleyman Kocabaş, Hindistan Yolu ve Petrol Uğruna
Yapılanlar: Türkiye ve İngiltere (The Road to India and What Has Been Done for
the Sake of Oil: Turkey and Britain), 1.baskı, İstanbul: Vatan Yayınları, 1985,
s. 231
24. Francis Darwin, The Life and Letters of Charles
Darwin, Vol.I, 1888. New York D. Appleton and Company, hal.285-286
25. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker
Book House, 1989, hal. 70
26. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker
Book House, 1989, hal. 71
27. Thomas Gossett, Race: The History of an Idea in
America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal.188
28. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea
of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 85-90
29. Henry Fairfield Osborn, “The Evolution of Human
Races”, Natural History, April 1980, hal. 129 – reprinted from January/February
1926 issue
30. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed.
Presses Universitaires de France, 1988, hal. 101
31. François de Fontette, Le Racisme (Racism), 6th ed.
Presses Universitaires de France, 1988, hal. 105
32. Jani Roberts, How New-Darwinism Justified Taking
Land From Aborigines and Murdering Them in Australia,
http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
33. Jani Roberts, How New-Darwinism Justified Taking
Land From Aborigines and Murdering Them in Australia,
http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
34. Jani Robert, How New-Darwinism Justified Taking Land
From Aborigines and Murdering Them in Australia,
http://www.gn.apc.org/inquirer/ausrace.html
35. Creation Ex Nihilo, Vol 14, No. 2, March-May 1992,
hal. 17
36. Philadelphia Daily News, 28 April 1997
37. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga,
The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993 hal. 269
38. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga,
The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 267
39. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga,
The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 266
40. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga,
The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal.264
41. Philips Verner Bradford, Harvey Blume, Ota Benga,
The Pygmy in the Zoo, Canada, October 1993, hal. 259
42. Bryan Appleyard, Brave New Worlds, Harper Collins
Publishers, London 1999, hal. 49-50
43. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea
of Race and Racism), Ankara:Bilim ve Sanat Yayınları, 1993, hal.62-6
44. Carl Cohen, Communism, Fascism and Democracy, Random
House, New York, 1972
45. J. Tenenbaum., Race and Reich, Twayne Pub., New York,
hal. 211, 1956; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust,
http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
46. L.H. Gann, “Adolf Hitler, The Complete
Totalitarian”, The Intercollegiate Review, Fall 1985, hal. 24; cited in Henry
M. Morris, The Long war Against God, Baker Book House, 1989, hal. 78
47. K. Ludmerer., Eugenics, In: Encyclopedia of
Bioethics, Edited by Mark Lappe, The Free Press, New York, hal. 457, 1978;
cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
48. G. Stein., Biological science and the roots of
Nazism, American Scientist 76(1):hal. 54, 1988; cited by Jerry Bergman,
Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
49. Adolf Hitler, Mein Kampf, München: Verlag Franz Eher
Nachfolger, 1993, hal. 44, 447-448; cited by A.E. Wilder Smith, Man’s Origin
Man’s Destiny, The Word For Today Publishing 1993, hal. 163, 164
50. P. Weindling, Health, Race and German Policies
Between National Unification and Nazism 1870-1945, Cambridge University Press,
Cambridge, MA, 1989, cited by Jerry Bergman, Darwinism and The Nazi Race
Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
51. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the
Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
52. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the
Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
53. John J. Michalczyk (editor), Nazi Medicine: In The
Shadow of The Reich (documentary film), First Run Features, New York, 1997
54. George J. Stein, “Biological Science and the Roots
of Nazism”, American Scientist, vol. 76, (January/February 1988), hal. 52
55. Sir Arthur Keith, Evolution and Ethics, New York:
G.P. Putnam’s Sons, 1947, hal. 14
56. Robert Clark, Darwin: Before and After, Grand Rapids
International Press, Grand Rapids, MI, 1958. hal.115
57. A. Keith, Evolution and Ethics, G. P. Putnam’s Sons,
New York, hal. 230, 1946, cited by Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race
Holocaust, www.trueorigin.org/holocaust.htm
58. Francis Schaeffer, How Shall We Then Live?, Old
Tappan, N.J.: Revell, 1976, hal. 151; cited in Henry M. Morris, The Long war
Against God, Baker Book House, 1989, hal. 78
59. A. Hitler, Hitler’s Secret Conversations 1941–1944,
With an introductory essay on The Mind of Adolf Hitler by H.R. Trevor-Roper,
Farrar, Straus and Young, New York, hal. 117, 1953; cited by Jerry Bergman,
Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
60. Daniel Gasman, The Scientific Origins of National
Socialism: Social Darwinism in Earnest Haeckel and the German Monist League,
New York: American Elsevier Press, 1971, hal. 168
61. Robert E.D. Clark, Darwin: Before and After, London:
Paternoster Press, 1948, hal. 115, cited in Henry M. Morris, The Long War
Against God, Baker Book House, 1989, hal. 81
62. Denis Mack Smith, Mussolini, hal. 14
63. John P. Diggins, Mussolini and Fascism, Princeton
University Press, 1972, hal. 15
64. Çağdaş Liderler Ansiklopedisi (The Encyclopaedia of
Contemporary Leaders), Vol. 2, hal. 669
65. James Joll, Europe Since 1870: An International
History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 164
66. M.F. Ashley-Montagu, Man in Process (New York:
World. Pub. Co. 1961) hal. 76, 77 cited in Bolton Davidheiser, W E Lammers (ed)
Scientific Studies in Special Creationism, 1971, hal. 338-339
67. A.E. Wiggam, The New Dialogue of Science, Garden
Publishing Co., Garden City, NY, hal. 102, 1922; cited by Jerry Bergman,
Darwinism and the Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
68. Robert Clark, Darwin: Before and After, Grand Rapids
International Press, Grand Rapids, MI, 1958., s. 115-116; cited by Jerry
Bergman, Darwinism and the Nazi Race Holocaust,
http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
69. Jerry Bergman, Darwinism and the Nazi Race
Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
70. Earnest Haeckel, The History of Creation: Or the
Development of the Earth and Its Inhabitants by the Action of Natural Causes,
Appleton, New York, 1876, hal. 170; cited by Jerry Bergman, Darwinism and the
Nazi Race Holocaust, http://www.trueorigin.org/holocaust.htm
71. Theodore D. Hall, The Scientific Background of the
Nazi “Race Purification” Program, http://www.trufax.org/avoid/nazi.html
72. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The
Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives,
http://www.fixedearth.com/hlsm.html
73. Max Nordau, The Philosophy and Morals of War, North
American Review 169 (1889):794 cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in
American Thought, Boston: Beacon Press, 1955, hal.171)
74. Tempo Magazine, 14 July 1991
75. http://chefsseite.tsx.org/
76. Sabah Daily, 12 August 2000
77. San Francisco Examiner, 1 April1997
78. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the
Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
79. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the
Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
80. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the
Social Scene, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1959, hal.85-87
81. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton
& Company, New York 1992, hal. 26
82. Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific,
Foreign Languages Press, Peking 1975, hal. 67
83. Gertrude Himmelfarb, Darwin and the Darwinian
Revolution, London: Chatto & Windus, 1959, hal. 348-9
84. Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific,
Foreign Languages Press, Peking 1975, hal. 67
85. Conway Zirkle, Evolution, Marxian Biology and the
Social Scene, (University of Pennsylvania Press, 1959), hal.85-86
86. Tom Bethell, “Burning Darwin to Save Marx”, Harper’s
Magazine, (December 1978), hal.37
87. Karl Marx Biyografi (The Biography of Karl Marx),
Öncü Yayınevi, hal. 368
88. John N. Moore, The Impact of Evolution on the Social
Sciences, Impact No. 52, www.icr.org/pubs/imp/imp-052.htm
89. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The
Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives,
http://www.fixedearth.com/hlsm.html
90. Alan Woods and Ted Grant, Reason in Revolt: Marxism
and Modern Science, London:1993
91. Kent Hovind, The False Religion of Evolution,
http://www.royalse.com/scroll/evolve/ndxng.html
92. E. Yaroslavsky, Landmarks in the Life of Stalin,
Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1940, hal. 8.; cited by Paul G.
Humber, Stalin’s Brutal Faith, Vital articles on Science/Creation October 1987,
Impact No. 172
93. E. Yaroslavsky, Landmarks in the Life of Stalin,
Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1940, hal. 8.; cited by Paul G.
Humber, Stalin’s Brutal Faith, Vital articles on Science/Creation October 1987,
Impact No. 172
94. K. Mehnert, Kampf um Mao’s Erbe, Deutsche
Verlags-Anstalt, 1977
95. Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The
Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives,
http://www.fixedearth.com/hlsm.html
96. Robert Milner, Encyclopaedia of Evolution 1990
hal.81
97. Michael Ruse: The Long March of Darwin, New
Scientist 103, August 16, 1984: 35; cited in Henry M. Morris, The Long war
Against God, Baker Book House, 1989, hal.85-86
98. Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker
Book House, 1989, hal. 57
99. Nicolas Werth, “Le Pouvoir soviétique et l’Eglise
orthodoxe de la collectivisation à la Constitution de 1936", Revue
d’études comparatives Est-Quest nos. 3-4, 1993, hal.41-49 cited by Stéphane
Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek,
Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press,
1999, hal. 172
100. Samuel T. Francis, The Soviet Strategy of Terror,
The Heritage Foundation, 1981, hal. 46
101. V. I. Lenin; Collected Works, 4th English Edition,
Progress Publishers, Moscow, 1964, hal. 180
102. V. İ. Lenin, The Proletarian Revolution and The
Renegade Kautsky (Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1952, hal. 32-33,
20)
103. V. I. Lenin, Collected Works, Moscow, Volume 35,
hal. 238
104. V. I. Lenin, Collected Works, Vol. 24, hal. 38-41,
Progress Publishers, Moscow, 1964.
105. V.I. Lenin, Polnoe sobranie sochinenii, (Complete
Collected Works), Moscow, Gos.-izd-vo polit. Lit-ry, 1958-1966, 35: 311, cited
by Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski,
Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard
University Press, 1999, hal. 59
106. Ann Arbor, Leon Troçki, Terrorism or Communism,
University of Michigan Press, 1961, hal. 58
107. Protokoly zasedanii VSIK 4-sozyva,
Stenograficheskii otchet (Protocols of the sessions of the CEC in the fourth
phase: Stenographic account) (Moscow, 1918), hal. 250
108. Harrison E. Salisbury, “Reading The Gulag
Archipelago is like no other reading experience of our day,” Book-of-the-Month
Club NEWS, Midsummer, 1974, hal. 4,5.
109. Russian Center for the Conservation and Study of
Historic Documents, Moscow, 17/84/75/59, cited by Stéphane Courtois, Nicolas
Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis
Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 100
110. Quoted in V.I. Brovkin, Behind the Front Lines of
the Civil War: Political Parties and Social Movements in Russia, 1918-1922,
Princeton: Princeton University Press, 1981, hal. 353, cited by Stéphane
Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek,
Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press,
1999, hal. 101
111. Krasnyi Mech, no.1 (18 August 1919), hal.1 cited by
Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel
Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University
Press, 1999, hal. 102
112. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné,
Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of
Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 119
113. Quoted in Julian Gorkin, Les Communistes contre la
révolution espagnole, Paris: Belfond, 1978, hal.181, cited by Stéphane
Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek,
Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press,
1999, hal. 342
114. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné,
Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of
Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 29
115. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné,
Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of
Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 470-471
116. Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné,
Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of
Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 4
117. P.J. Darlington, Evolution for Naturalists, 1980,
s. 243-244
118. Edward E. Ericson, Jr., “Solzhenitsyn - Voice from
the Gulag”, Eternity, October 1985, hal. 23, 24.
119. Alaeddin Şenel, Irk ve Irkçılık Düşüncesi (The Idea
of Race and Racism), Ankara: Belem ve Sanat Yayınları, 1993, hal. 61
120. Herbert Spencer, Social Status, 1850, hal.414-415
121. The Challenge of Facts and Other Essays, as quoted
in Mason Drukman, Community and Purpose in America: An Analysis of American
Political Theory, New York: McGraw-Hill, 1971, hal. 202.
122. R. Milner, Encyclopedia of Evolution 1990 hal. 412
123. Thomas F. Gossett, Race: The History of an Idea in
America, Dallas: Southern Methodist University Press, 1963, hal. 170
124. Chauncey Depew, My Memories of Eighty Years, New
York, 1922, hal.383-384
125. James J. Hill, Highways of Progress, New York,
1910, hal. 126, 137
126. Andrew Carnegie, Autobiography, Boston 1920, hal.
327, cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in American Thought, Boston:
Beacon Press, 1955, hal. 45
127. Andrew Carnegie, Wealth, North American Review 148,
1889, s. 655-657, cited in Richard Hofstadter, Social Darwinism in American
Thought, Boston: Beacon Press, 1955, hal. 45-46
128. Kenneth J. Hsü, “Darwin’s Three Mistakes”, Geology,
vol.14, June 1986, hal. 534
129. Bolton Davidheiser, W E Lemmerts (ed) Scientific
Studies in Special Creationism, 1971 hal. 338-339.
130. H. Enoch, Evolution or Creation, 1966 hal.145
131. Ernst Mayr, “Interview”, Omni, March/April 1988,
hal. 46; cited in Henry M. Morris, John D. Morris, The Modern Creation
Triology, Vol. 3, hal. 12
132. Kenneth A. Ham, The Lie Evolution, Master Books,
April 1997, hal. 84
133. Theodosius Dobzhansky, “Ethics and Values in
Biological and Cultural Evolution”, Zygon, the Journal of Religion and Science,
as reported in Los Angeles Times, part IV (June 16, 1974), hal. 6
134. Stephen Jay Gould, Ever Since Darwin, W. W. Norton
& Company, New York 1992, hal. 223
135. Richard Dawkins, Unweaving The Rainbow, Houghton
Mifflin Company, Newyork, 1998, hal. ix)
136. Earthwatch, March 1989, p. 17; cited in Henry M.
Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 57
137. Sidney Fox, Klaus Dose, Molecular Evolution and The
Origin of Life, New York: Marcel Dekker, 1977. hal. 2
138. Alexander I. Oparin, Origin of Life, (1936) New
York, Dover Publications, 1953 (Reprint), hal.196
139. “New Evidence on Evolution of Early Atmosphere and
Life”, Bulletin of the American Meteorological Society, vol 63, November 1982,
hal. 1328-1330.
140. Stanley Miller, Molecular Evolution of Life:
Current Status of the Prebiotic Synthesis of Small Molecules, 1986, hal. 7
141. Jeffrey Bada, Earth, February 1998, v. 40
142. Leslie E. Orgel, The Origin of Life on Earth,
Scientific American, vol 271, October 1994, hal. 78
143. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile
of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 189
144. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile
of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 184.
145. B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The
Banner Of Truth Trust, 1988.
146. Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile
of the First Edition, Harvard University Press, 1964, hal. 179
147. Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Record”,
Proceedings of the British Geological Association, vol 87, 1976, hal. 133
148. Douglas J. Futuyma, Science on Trial, New York:
Pantheon Books, 1983. hal. 197
149. Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, New York:
Toplinger Publications, 1970, ss. 75-94; Charles E. Oxnard, “The Place of
Australopithecines in Human Evolution: Grounds for Doubt”, Nature, vol 258,
hal. 389
150. J. Rennie, “Darwin’s Current Bulldog: Ernst Mayr”,
Scientific American, December 1992
151. Alan Walker, Science, vol. 207, 1980, hal. 1103; A.
J. Kelso, Physical Antropology, 1st ed., New York: J. B. Lipincott Co., 1970,
s. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge, vol. 3, Cambridge: Cambridge University
Press, 1971, hal. 272
152. Time, November 1996
153. S. J. Gould, Natural History, vol. 85, 1976, hal.
30
154. Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, New York:
Toplinger Publications, 1970, hal. 19
155. Richard Lewontin, “The Demon-Haunted World”, The
New York Review of Books, 9 January, 1997, hal. 28.
Mereka menjawab:”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2:32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar